Investor tidak menampik jumlah pendanaan dari modal ventura di Indonesia sudah mulai menurun sejak 2023. Meski demikian, mereka bilang pengurangan ini bukanlah fenomena negatif, melainkan investasi sudah kembali ke posisi normal.
Managing Director OCBC Ventura, Darryl Ratulangi, bilang angka pendanaan saat ini hampir sama bila dibanding pada 2018–2019. Hal ini yang membuatnya menyimpulkan pendanaan usai 2022 adalah angka normal.
“Pada 2021–2022, ada reaksi hiperbola sehingga banyak (pendanaan) yang masuk ke Indonesia. Tapi secara realistis, dari sudut pandang kami, saat ini adalah new normal atau kenormalan baru,” ujar Darryl dalam Tech in Asia Conference di Ritz-Carlton Ballroom, Pacific Place, Jakarta, Kamis (24/10).
Partner dari perusahaan modal ventura asal Singapura Square Peg Capital, Piruze Sabuncu, sepakat atas pernyataan Darryl. Menurutnya iklim investasi Indonesia pada 2014–2015 sangat positif karena ada tren menciptakan superapp layaknya Alibaba dan WeChat di Cina.
Pendanaan kian meningkat pada 2020, saat pandemi Covid-19 melanda. Banyak pendanaan berdatangan karena transaksi luring berubah menjadi daring. Selain itu, investor melihat ada negara berkembang yang menarik.
“Tiba-tiba risiko membuat bisnis menjadi sangat rendah. Duit datang dan kamu bisa menciptakan bisnis besar. Sekarang kondisinya sudah berbeda,” ujarnya.
Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jeffrey Joe mengatakan dengan situasi ini, startup butuh lebih banyak waktu untuk membangun bisnisnya. Mereka perlu memastikan produk berhasil memenuhi kebutuhan dan keinginan pasar.
“New normal artinya segalanya bakal menjadi lebih lambat dan itu tidak masalah,” kata Jeffrey dalam kesempatan yang sama.
Penurunan pendanaan startup di Indonesia ini sebelumnya sudah dijelaskan oleh Chairman Nexticorn Foundation, Rudiantara. Ia menyebut investor cenderung lebih ingin menanamkan dana ke startup early stage alias tahap awal dibandingkan later stage yakni sudah di tahap menghasilkan keuntungan.
Secara rinci, pendanaan startup turun sekitar US$ 226 juta atau sekitar Rp 3,49 triliun. Angka pendanaan pada mencapai US$ 526 juta pada semester pertama tahun lalu, namun turun US$ 300 juta pada semester pertama tahun ini. Investasi sebesar US$ 300 juta itu mayoritas diberikan pada startup early stage.
“Dari sisi jumlah uang, satu transaksi later stage lebih besar puluhan kali. Tapi dari jumlahnya, justru early stage yang banyak disuntik pada 2024,” kata Rudiantara di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Selasa (10/9).
Berikut perbedaan pendanaan startup berdasar jenisnya, dibandingkan antara semester I 2024 dan 2023:
Jenis pendanaan | Pendanaan pada semester I 2023 | Pendanaan pada semester I 2024 |
Seed capital | US$ 32 juta | US$ 26 juta |
Early stage | US$ 148 juta | US$ 113 juta |
Later stage | US$ 681 juta | US$ 52 juta |
Rudiantara menjelaskan biasanya investor memberi pendanaan lebih kecil ke masing-masing startup level seed capital dan early stage. Ia mencontohkan, biasanya pendanaan ke seed capital hanya US$ 200 ribu hingga US$ 300 ribu. Sama halnya dengan early stage yang pendanaan paling besarnya bisa US$ 1 juta.
Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena investor butuh banyak tempat untuk menyimpan uangnya. Oleh karena itu, mereka kerap menebar uang ke banyak startup. “Daripada taruhan satu blok uang di satu tempat?” kata mantan Menteri Komunikasi dan Informatika itu.