GoPay, OVO hingga LinkAja Tanggapi Biaya Transaksi Kode QR 0,7%

ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Pegawai Bank Indonesia (BI) menunjukkan bukti transaksi menggunakan peluncuran QR Code Indonesian Standard (QRIS) di halaman Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Sabtu (17/8/2019). Asosiasi dan pelaku usaha tanggapi beragam biaya transaksi menggunakan kode QR.
Penulis: Desy Setyowati
22/8/2019, 15.17 WIB

Bank Indonesia (BI) menetapkan biaya transaksi atau merchant discount rate (MDR) dengan teknologi kode Quick Response (QR Code) 0,7%. Asosiasi dan pelaku usaha seperti GoPay, OVO hingga Bukalapak menanggapi beragam ketetapan ini.

Ketua Umum Asosiasi Fintech (Aftech) Niki Santo Luhur menilai, tarif transaksi menggunakan kode QR ini sangat kompetitif. Penilaian itu mengacu pada biaya pembangunan infrastruktur yang menopang teknologi pembayaran ini.

“Sebenarnya kalau dibanding dengan standar internasional, (besaran MDR) itu sangat kompetitif. Mungkin yang kurang kelihatan oleh masyarakat itu semua infrastruktur di belakangnya,” kata dia di Jakarta, Kamis (22/8).

Infrastruktur dibutuhkan supaya proses pembayaran berjalan aman. Tidak ada masyarakat baik mitra penjual ataupun konsumen yang dirugikan. Selain itu, butuh dana untuk membangun ekosistem terkait fintech pembayaran yang berkesinambungan.

“Jadi saya rasa, butuh satu fee based income (komisi transaksi) yang bisa menahan dari sisi infrastruktur dan juga memberikan cukup dana untuk tetap bisa berinovasi,” katanya.

(Baca: Tren Baru Pembayaran Kode QR yang Menyimpan Masalah)

Niki optimistis, ketetapan BI tersebut sudah mempertimbangkan banyak hal termasuk kemampuan pasar. Aftech pun berjanji akan memantau respons pasar atas kebijakan itu. “Kami coba menjembatani suara dari pelaku, sektor riil, dan industri. Semoga selalu sinkron dengan pengertian dari sisi pemerintah,” katanya.

Besaran biaya transaksi tersebut ditetapkan BI sejalan dengan peluncuran standardisasi kode QR yang disebut QRIS. Lewat standardisasi ini, satu kode QR bisa dipindai oleh semua dompet digital yang terdaftar di BI seperti GoPay, OVO, LinkAja, DANA dan lainnya.

MDR 0,7% per transaksi itu berlaku untuk umum, baik on us maupun off us. Disebut on us misalnya, pengguna GoPay memindai kode QR milik perusahaan yang sama. Sedangkan off us contohnya, kode QR milik OVO dipindai menggunakan dompet digital lain. Meski begitu, semua kode QR itu sesuai dengan QRIS.

Untuk pembayaran biaya pendidikan, tarif MDR yang dikenakan hanya 0,6%. Lalu, untuk pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) hanya 0,4%. Sedangkan untuk penyaluran bantuan sosial (bansos) dan donasi gratis.

(Baca: BI Bakal Uji Coba Standardisasi Kode QR dengan Singapura dan Thailand)

Di lain kesempatan, Kepala Perwakilan BI DKI Jakarta Hamid Ponco Wibowo optimistis pendapatan daerah dari hotel, restoran, dan parkir bakal meningkat. Sebab, masyarakat mendapat kemudahan pembayaran dengan adanya QRIS. Ia yakin hal ini mendorong minat konsumen untuk bertransaksi.

Apalagi, sepengetahuannya pola pembayaran warga Jakarta punya tendensi yang mengarah kepada non-tunai (cashless society). "Jakarta adalah salah satu pengguna terbesar elektronifikasi," katanya di Jakarta, kemarin (21/8) sore.

Selain usaha terkait pariwisata, ia optimistis kemudahan sistem pembayaran ini dapat meningkatkan pendapatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di ibu kota. BI Jakarta pun membina 30 pelaku usaha saat ini.

Berdasarkan Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD), pendapatan Jakarta dari pajak hotel mencapai Rp 1,74 triliun tahun lalu. Sedangkan pajak restoran dan parkir masing-masing Rp 3,15 triliun dan Rp 513 miliar. 

Pelaku Usaha Tanggapi Biaya Transaksi Pakai Kode QR

Mitra ritel yang sudah menerapkan QRIS adalah warung Bukalapak. Perusahaan e-commerce turut serta dalam proyek percontohan (pilot project) QRIS sejak dua bulan lalu.

Vice President of Online to Offline Bukalapak Rahmat Danu Andika menjelaskan bahwa perusahaannya belum memutuskan apakah MDR QRIS akan ditanggung korporasi atau mitra. "Kami belum menentukan karena masih tahap awal perkenalkan. Sejauh ini belum dipungut biaya apapun," katanya, kemarin.

Ia berharap, omzet para mitra bisa meningkat setelah menerapkan QRIS ini. “Saya rasa tidak masalah apabila mereka membayar 0,3% misalnya. Nanti 0,4% sisanya kami cari siapa lagi yang akan bayar," katanya. Namun, ia menegaskan bahwa sejauh ini perusahaan akan mengikuti ketetapan 0,7% dari BI.

(Baca: OVO, Go-Pay, dan DANA Siap Adopsi Standardisasi Kode QR dari BI)

Head of Government Relations and Public Policy GoPay Brigitta Ratih mengatakan bahwa perusahaan siap mendukung implementasi kebijakan kode QR sesuai standar BI. Saat ini, Gopay memiliki lebih dari 400 ribu mitra usaha dan 90% di antaranya adalah pedagang kecil di Indonesia.

Terkait besaran MDR, ia menegaskan bahwa perusahaannya bakal mematuhi kebijakan BI. "Kami akan terus mengikuti arahan BI," katanya, kepada Katadata.co.id.

Hal senada disampaikan oleh Direktur OVO  Harianto Gunawan . Ia mengatakan bahwa perusahaan menyambut baik QRIS. "Kami percaya bahwa inisiatif ini akan membawa dampak positif bagi perkembangan ekonomi Indonesia, dengan menciptakan ekosistem pembayaran yang inklusif," kata dia.

Saat ini, layanan OVO dapat digunakan oleh 300 ribu mitra UMKM. Perusahaan pun terus berkoordinasi dengan para mitra untuk mengimplementasikan standardisasi ini.

Chief Executive Officer (CEO) LinkAja Danu Wicaksana menambahkan, perusahaannya siap menerapkan QRIS. Penerapan standardisasi ini akan berlaku secara resmi mulai 2020.

(Baca: BI Luncurkan Standar QR Code Agar Sistem Pembayaran Lebih Efisien)

Reporter: Michael Reily, Cindy Mutia Annur