Di ASEAN, Perusahaan Indonesia dan Thailand yang Terbanyak Adopsi IoT

Kemenperin
Ilustrasi, aktivitas teknisi industri elektronika di Indonesia yang telah menggunakan teknologi digital dalam pengecekan mesin produksi. Adopsi IoT di Indonesia lebih unggul dibanding Malaysia (5,1%), Filipina (2,8%), dan Vietnam (2,1%).
11/7/2019, 16.28 WIB

Riset Asia IoT Business menunjukkan, hanya 8,9% perusahaan Indonesia yang sudah mengadopsi Internet of Things (IoT). Adopsi IoT di Indonesia hanya kalah dibanding Thailand, yang sudah mencapai 10,7%.

Meski begitu, adopsi IoT di Indonesia lebih unggul dibanding Malaysia (5,1%), Filipina (2,8%), dan Vietnam (2,1%). Direktur Asia loT Business Platform Irza Suprapto mengatakan, perusahaan manufaktur yang paling banyak mengadopsi IoT di ASEAN.

"Ini konsisten dengan apa yang telah kami saksikan dalam empat tahun terakhir, perusahaan di Indonesia dan Thailand paling banyak berinvestasi (terkait) teknologi dan mulai menuai hasilnya sekarang," katanya di Jakarta, Kamis (11/7).

(Baca: IDC: Belanja IoT di Dunia Diproyeksi Capai Rp 15.730 Triliun pada 2023)

Riset Asia IoT Business dilakukan terhadap 1.624 responden di Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina, dan Vietnam pada 2018 lalu. Sebanyak 43,1% responden di industri manufaktur dan 46,2% di sektor logistik mengaku sudah melakukan transformasi digital di perusahaannya.

Namun, sembilan persen dari responden belum mengimplementasikan transformasi digital di dalam proses bisnis mereka. "Ini statistik yang menjanjikan (untuk menjadi potensi pasar IoT selanjutnya)," kata Irza.

Apalagi 78,6% responden setuju bahwa perusahaan mereka harus menggunakan teknologi otomatisasi, analisis data, dan berbagai perangkat digital lainnya. Alasannya, adopsi teknologi bisa memaksimalkan proses bisnis dan operasional perusahaan mereka.

(Baca: Telkomsel Pakai IoT untuk Manajemen Pengisian BBM Pertamina)

Pada awal tahun ini, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menyebutkan, ada empat sektor digital yang berkembang pesat di Indonesia yakni teknologi financial (fintech), e-commerce; penyedia layanan on-demand, dan, IoT. 

Data Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) menunjukkan, pasar potensial bagi IoT di Asia Pasifik mencapai US$ 250 miliar pada 2015. Potensinya diperkirakan meningkat menjadi US$ 583 miliar pada 2020. "Di Indonesia, kami punya eFishery, Qlue, dan Cubeacon yang menggunakan teknologi IoT," kata Bambang, pada Januari lalu.

Berdasarkan data World Cellular Information Service (WCIS), penggunaan layanan IoT di Indonesia naik dari 32 juta unit menjadi 39 juta unit pada 2015. Kemudian, penggunaan big data meningkat dari 277 petabyte menjadi 448 petabyte per bulan pada 2015. Selain itu, pendapatan dari penggunaan internet naik dari US$ 56 juta menjadi US$ 67 juta di 2015.

Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Janu Suryanto memperkirakan, nilai pasar dari ekosistem bisnis IoT di Indonesia mencapai Rp 444 triliun pada 2022. “Peluang Indonesia menjadi ekosistem IoT sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pengguna internet di Tanah Air yang lebih dari 140 juta orang.," katanya, pada Mei lalu.

Di satu sisi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saat ini fokus mengkaji regulasi mengenai jaringan internet generasi kelima alias 5G. Teknologi ini bisa mengimbangi perkembangan IoT, karena tingkat latensi atau keterlambatan mengirim datanya lebih rendah dibanding 4G. Dengan begitu, kinerja IoT menjadi maksimal jika menggunakan 5G.

(Baca: Langkah Kominfo agar Adopsi 5G di Indonesia Lebih Efisien)

Reporter: Cindy Mutia Annur