Studi yang dilakukan oleh University of Sydney dan Data61 dari The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) menunjukkan, ada 2.040 aplikasi berbahaya di Google Play Store . Studi tersebut dilakukan selama dua tahun.
Sebagian besar dari ribuan aplikasi itu berupa permainan yang dipalsukan dan mengandung malware. Sebagian lagi tidak mengandung malware, namun meminta izin akses data yang dianggap berbahaya. Gim tersebut di antaranya Temple Run, Free Flow, dan Hill Climb Racing.
(Baca: Peretas Tiongkok Dituduh Serang Telegram Pakai DDos)
Ada 10 ribu aplikasi yang dipalsukan sehingga mirip secara tampilan berikut teksnya. Aplikasi tersebut tergolong populer di Google Play Store. Selain itu, berdasarkan pencarian menggunakan algoritma dan mesin pembelajar (machine learning), ada 49.608 ancaman di Google Play Store.
Para peneliti juga menemukan sekitar 7.246 aplikasi yang ditandai berbahaya. Sebanyak 2.040 di antaranya aplikasi palsu dan berisiko tinggi bagi pengguna. Ada 1.565 aplikasi yang meminta setidaknya lima izin sensitif. Lalu, 1.407 aplikasi menanamkan iklan dari pihak ketiga.
(Baca: 7,5 Miliar Data Digital di Dunia Bocor, Belasan Juta dari Indonesia)
"Meskipun keberhasilan Google Play ditandai oleh fleksibilitas dan fitur yang dapat disesuaikan, yang memungkinkan hampir semua orang membangun aplikasi. Ada sejumlah aplikasi bermasalah yang lolos dari pengawasan dan telah melewati proses pemeriksaan otomatis," kata rekan penulis studi dari University of Sydney Suranga Seneviratne dikutip dari ComputerWorld.com, Senin (24/6) lalu.
Padahal, sebagian masyarakat dunia bergantung pada teknologi ponsel pintar (smartphone). Karena itu, menurutnya penting bagi perusahaan teknologi dalam membangun solusi guna mendeteksi aplikasi berbahaya secara cepat.
Saat ini, aplikasi yang diteliti tersebut telah dihapus dari Google. Tim Google pun melaporkan bahwa beberapa permintaan aplikasi untuk masuk di Google Play Store ditolak oleh perusahaan. Jumlah yang ditolak naik lebih dari 55% dibanding tahun lalu. Penangguhan aplikasi juga meningkat menjadi 66%.
(Baca: Serangan Siber Naik 12,5% di 2018, Paling Banyak dari AS dan Tiongkok)