Kontributor Forbes sekaligus Pendiri startup di bidang distribusi dan monetisasi aplikasi, Appnext, Elad Natanson menyebut Indonesia sebagai ‘macan baru’ di Asia Tenggara. Sebab, menurutnya, pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia cukup pesat.
Dia menyebutkan tiga alasan yang membuat Indonesia bisa menjadi ‘macan baru’ di Asia Tenggara. Pertama, usia penduduk Indonesia relatif muda yakni rata-rata 29 tahun. Sebanyak 60% dari total populasinya berusia di bawah 40 tahun. Kedua, 60% penduduk dewasa di Indonesia memiliki ponsel pintar (smartphone).
Ketiga, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Sekitar 95% atau 142 juta dari total 150 juta pengguna di Indonesia mengakses internet lewat ponsel. “Ketiga faktor ini membuat Indonesia mewakili populasi besar penduduk asli digital muda yang paham mobile," ujar dia dikutip dari artikelnya yang berjudul Indonesia: The New Tiger of Southeast Asia yang dimuat Forbes, Selasa (14/5) lalu.
(Baca: BKPM Buka Peluang Besar Investasi bagi Startup Digital)
Ia mencatat, penduduk Indonesia menghabiskan 206 menit sehari di media sosial. Padahal, rerata penduduk dunia hanya 124 menit sehari di media sosial. Lebih dari 80% penduduk Indonesia menggunakan Youtube, WhatsApp, dan Facebook.
Bahkan, 76% pengguna internet di Indonesia berbelanja melalui ponsel. Hal ini menjadikan Indonesia pasar potensial bagi e-commerce. Menurut Natanson, layanan digital lainnya seperti gim online, iklan, streaming musik dan video, online travel, berbagi tumpangan (ride-hailing), dan pesan-antar makanan merupakan pasar potensial bagi ekonomi digital di Indonesia.
Google dan Temasek dalam laporannya pada 2018 pun menyebut Indonesia sebagai ‘kepulauan digital’ yang menyasar semua sektor. Selain karena jumlah pengguna internet yang banyak, potensi ekonomi digital di Indonesia mencapai US$ 27 miliar pada 2018.
Pertumbuhan tahunan majemuk (Compound Annual Growth Rate/CAGR) ekonomi digital di Indonesia pun tergolong yang tercepat di dunia, yakni 49% selama 2015-2018. Dengan potensi yang besar di semua sektor, Google dan Temasek memperkirakan ekonomi digital Indonesia bisa tumbuh menjadi US$100 miliar pada 2025.
(Baca: 56% Pengguna Internet Indonesia Belum Pernah Bertransaksi E-Commerce)
Karena itu, Natanson menilai Indonesia berpeluang menjadi ‘macan baru’ di Asia Tenggara. Apalagi, investasi dari modal ventura di Indonesia naik US$ 6 miliar dalam empat tahun terakhir. Salah satu pemodal di Venture Beat pun menyampaikan, pertumbuhan investasi ini sama seperti Tiongkok pada 2008.
Menurut Natanson, modal ventura semangat berinvestasi di startup Tanah Air. Sebab, pasar di Indonesia saat ini besar dan belum dimanfaatkan, sama seperti Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) sebelum berkembang pesat. “Unicorn (senilai) miliaran dolar muncul di beberapa sektor utama, seperti Tokopedia, Traveloka, dan Gojek,” ujarnya.
Tantangan Ekonomi Digital di Indonesia
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia bukan tanpa hambatan. Menurut Natanson, infrastruktur menjadi salah satu tantangan bagi ekonomi digital di Indonesia. Ia mencontohkan, biaya layanan data seluler di Indonesia relatif murah. Namun, kapasitas transfer data (bandwidth) rendah. Hal itu bisa dilihat dari kecepatan rerata unduhan hanya 10 mbps, kurang dari setengah rata-rata global.
Selain itu, kurang dari setengah penduduk Indonesia yang memiliki rekening bank. Hanya 2,4% penduduk Indonesia yang punya kartu kredit. Menurutnya, kondisi ini paradoks jika disandingkan dengan data 56% penduduk Indonesia memiliki smartphone.
(Baca: Polemik “Make Indonesia Great Again” Prabowo di Mata Kedua Kubu)
Meski begitu, kendala seperti ini juga menjadi peluang bagi pelaku usaha ekonomi digital, khususnya di sektor keuangan seperti teknologi finansial (fintech). Fintech pembayaran seperti GoPay, OVO, LinkAja, DANA dan lainnya pun berkembang pesat di Indonesia.
Berkaca dari kondisi tersebut, menurutnya, pelaku usaha ekonomi digital di Indonesia bisa fokus pada dua hal untuk menarik pengguna. Pertama, pemasaran melalui video. Kedua, memberikan perhatian yang lebih besar kepada segmen perempuan. Sebab, perempuan dinilai paling menyadari tren yang tengah berlangsung.
"Laporan Google lainnya menunjukkan, bahwa perempuan memiliki tanggung jawab atas sebagian besar keputusan finansial rumah tangga. Karena itu, perempuan menjadi target potensial untuk layanan uang elektronik (e-money)," ujarnya.
(Baca: Riset Google: 1 dari 2 Pengguna Internet Indonesia Adopsi Fintech)