Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menggandeng Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Bank Indonesia (BI) untuk membahas aturan tentang diskon tarif ojek online. Kemenhub menargetkan, aturan tersebut bisa rampung usai Lebaran.
Awalnya, KPPU memberi masukan kepada Kementerian untuk mengatur diskon tarif ojek online. Sebab, diskon yang berlebih itu berpotensi menciptakan predatory pricing. Predatory pricing merupakan strategi untuk menjual produk dengan harga yang sangat rendah, dengan tujuan menyingkirkan pesaing.
Atas dasar kekhawatiran itu, Dirjen Perhubungan Darat Kemehub Budi Setiadi merasa promo tarif ojek online ini perlu diatur. “Mungkin diskon itu diperbolehkan dengan catatan, mungkin dibatasi oleh waktu, besaran, dan sebagainya,” ujar Budi kepada Katadata.co.id di kantornya, Senin (27/5).
(Baca: Mantan Ketua KPPU Usul Kemenhub Larang Gojek-Grab Beri Promo Berlebih)
Ia menyampaikan, nantinya diskon tarif ojek online akan diatur dalam Keputusan Menteri. Aturan soal promo ini akan bersifat fleksibel, sehingga bisa diubah sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi.
Selain KPPU, Kemenhub menggandeng BI untuk mengatur diskon tarif ojek online. Sebab, berdasarkan kajiannya, promo diberikan oleh perusahaan teknologi finansial (fintech) pembayaran yang terintegrasi dengan aplikator seperti Gojek dan Grab.
Contohnya, diskon dari Go-Pay atas pemesanan layanan berbagi tumpangan (ride-hailing) di aplikasi Gojek. Bisa juga, OVO memberikan promo kepada pengguna layanan Grab. “Yang memberikan diskon itu sebenarnya bukan aplikator, tetapi fintech lain seperti OVO dan Go-Pay,” ujar dia.
Sebagaimana diketahui, industri fintech pembayaran seperti OVO, Go-Pay, dan LinkAja diatur dan diawasi oleh BI. Karena itu, lembaga ini turut dilibatkan dalam pembahasan aturan diskon tarif ojek online.
(Baca: Kemenhub Akan Atur Batas Waktu Diskon Tarif Ojek Online)
Ia khawatir, diskon tarif ojek online yang diberikan secara terus menerus, bisa menciptakan predatory pricing. Akibatnya, salah satu aplikator mendominasi dan membuat persaingan tidak sehat. “Tidak boleh hanya ada satu aplikator, karena itu berarti sudah monopoli. Keduanya harus tetap ada,” ujarnya.
Namun, pemain baru di industri ini juga harus mematuhi aturan terkait ojek online. Pemain baru itu seperti Anterin.id dan Bonceng. Kedua perusahaan ini menawarkan skema kemitraan yang berbeda dengan Gojek dan Grab. “Mereka juga harus patuh dengan regulasi ini,” ujarnya.
(Baca: Konsumen Tidak Keberatan, Kemenhub Perluas Aturan Tarif Ojek Online)