Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) resmi mencabut kebijakan pembatasan akses media sosial dan pesan pada Sabtu (25/5) lalu. Menteri Kominfo Rudiantara mengatakan, instansinya menutup 2.184 situs dan akun sebelum dan selama pembatasan akses media sosial.
Akun yang paling banyak ditutup adalah Twitter, yakni 848. Disusul oleh Instagram dan Facebook masing-masing 640 dan 551 akun. Lalu, ada 143 akun YouTube yang ditutup. Kemudian, masing-masing satu situs dan akun LinkedIn diblokir Kominfo.
Langkah ini ditempuh guna meminimalkan penyebaran hoaks terkait kerusuhan 22 Mei di Jakarta. “Sebelum dan selama pembatasan akses fitur gambar dan video di media sosial, Kominfo juga telah menutup ribuan sumber baik URL atau alamat situs dan/atau akun.,” kata Rudiantara melalui akun Twitter-nya @rudiantara_id, Senin (27/5).
(Baca: Kominfo Temukan 30 Hoaks dan Disinformasi Terkait Kerusuhan 22 Mei)
Menurut Rudiantara, pembatasan akses ke media sosial merupakan salah satu alternatif yang ditempuh pemerintah. Ia menyampaikan, negara lain pernah melakukan hal yang sama dan merasakan efektivitasnya dalam mencegah terjadinya perluasan kerusuhan.
Sri Lanka misalnya, memblokir Facebook dan WhatsApp pada Apri lalu. Saat itu, terjadi aksi teror bom bunuh diri di tiga gereja dan tiga hotel mewah. Media sosial diblokir guna meminimalkan penyebaran ujaran kebencian. “Iran menutup Facebook pada 2019 setelah pengumuman kemenangan Presiden Ahmadinejad. Banyak negara yang melakukan pembatasan dan penutupan dengan berbagai alasan,” ujarnya.
Langkah ini ditempuh, karena menurutnya satu hoaks yang beredar cukup untuk memicu aksi massa yang berujung pada hilangnya nyawa. Ia mencontohkan, kondisi seperti ini dialami oleh Mohammad Azam di India pada 2018. Insinyur perangkat lunak Google itu meninggal dihajar massa, karena pesan WhatsApp yang menyebut dirinya sebagai penculik anak. Padahal, pesan tersebut belum terbukti kebenarannya.
(Baca: Kritik Pembatasan Akses Media Sosial, SAFEnet Serukan Tujuh Tuntutan)
Meski begitu, menurut dia, ada cara lain untuk meminimalkan penyebaran hoaks. Caranya, bekerja sama dengan penyedia platform. “Ini juga ditempuh. Misalnya, saya telah berkomunikasi dengan pimpinan WhatsApp. Yang hanya dalam seminggu sebelum kerusuhan 22 Mei lalu telah menutup sekitar 61 ribu akun yang melanggar aturan,” katanya.
Dia mengimbau masyarakat untuk berhenti menyebarkan konten yang mengandung hoaks, fitnah, maupun provokasi. Kegiatan seperti ini berpotensi melanggar hukum. “Ada banyak hoaks sejenis itu (di India) yang lalu-lalang di Indonesia setiap hari. Apalagi sekitar 22 Mei lalu,” kata dia.
Adapun pembatasan akses media sosial dilakukan selama 22-25 Mei 2019. Pembatasan dilakukan untuk menghindari provokasi dan informasi bohong alias hoaks melalui media sosial dan aplikasi pesan WhatsApp.
Pemerintah melakukan pembatasan terhadap berbagai fitur berbagi foto dan video di media sosial dan aplikasi percakapan sosial (social messenger). Pembatasan fitur tersebut dilakukan di platform Facebook, Instagram, Twitter, dan Whatsapp.
(Baca: Ramai Dicari Usai Kerusuhan 22 Mei, Ini Sisi Bahaya dari Pemakaian VPN)