Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan ada dua perusahaan financial technology (fintech) pinjaman (lending) yang menetapkan bunga melebihi batas yang ditetapkan. Kedua fintech pinjaman tersebut tengah diperiksa oleh komite etik Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Karena masih diperiksa, kedua fintech pinjaman tersebut belum diberikan sanksi. “Belum ada keputusan dari komite etik. Kami juga masih menunggu keputusan,” ujar Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko kepada Katadata.co.id, Jumat (10/5).
Berdasarkan kesepakatan anggota, AFPI menetapkan biaya pinjaman termasuk bunga, biaya administrasi, dan sebagainya maksimal 0,8% per hari. Batas atas tersebut ditetapkan lewat kajian yang mengacu pada regulasi fintech pinjaman di Inggris.
Akumulasi bunga juga disepakati hanya berlaku maksimal hingga hari ke-90. Jika peminjam gagal membayar sesuai periode maksimal tersebut, maka penghitungan denda tidak boleh melebihi 100% dari nilai pokok pinjaman. Artinya, total kewajiban yang harus dibayar peminjam tidak bertambah meski terlambat membayar lebih dari 90 hari.
(Baca: Pasang Bunga Pinjaman Melebihi Batas, Izin 2 Fintech Terancam Dicabut)
Sunu menjelaskan, ada dua jenjang hukuman bagi anggota AFPI yang melanggar kesepakatan yakni peringatan dan dikeluarkan. Sepengetahuan Sunu, komite etik AFPI tengah memeriksa dua fintech pinjaman. Namun ia belum tahu apakah keduanya melanggar kesepakatan.
Toh, komite etik AFPI yang berhak menentukan sanksi yang bakal diterima keduanya. “Itu benar. Tetapi jenjang sanksi itu yang menentukan adalah komite etik. Kami yang hanya pengurus dan menerima rekomendasi hasil keputusan tersebut,” ujarnya.
Biasanya, AFPI akan mempelajari fakta-fakta atas laporan terkait dugaan pelanggaran anggotanya. Setelah semua fakta terkumpul, AFPI akan memanggil fintech pinjaman terduga untuk klarifikasi laporan yang diterima dan bukti yang ada. “Biasanya prosesnya cukup lama,” ujarnya.
(Baca: OJK Hukum Fintech RupiahPlus karena Langgar Prosedur Penagihan)
Sebelum kasus tersebut, komite etik AFPI pernah menangani pelanggaran terkait Standar Operasional Prosedur (SOP) yang melibatkan RupiahPlus. Namun, fintech pinjaman yang bersangkutan sudah diberi sanksi. Sunu menyampaikan, setiap kasus akan menjadi bahan evaluasi AFPI.
Kredit Bermasalah di Industri Fintech Pinjaman
Besaran bunga fintech biasanya ditetapkan berdasarkan profil risiko peminjam. Semakin berisiko peminjam tidak membayar utang, maka akan semakin besar bunga yang ditetapkan.
Per Maret 2019, OJK mencatat kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) lebih dari 90 hari di industri ini mencapai 2,62%. Rasio tersebut turun dibanding Februari yang sebesar 3,18 %. Namun, NPL Maret ini lebih tinggi ketimbang akhir 2018 yang sebesar 1,45%.
Menurut Sunu, NPL akan turun dengan sendirinya seiring pertumbuhan industri ini. Dinamika naik turunnya NPL juga terjadi di industri keuangan lainnya. “Saya rasa di semua lembaga inklusi keuangan, pasti naik-turun NPL-nya,” ujarnya.
(Baca: Bunga Pinjaman Fintech Berpeluang Turun Tahun Ini)
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, lembaganya tidak lagi menggunakan istilah NPL untuk menilai tingkat keberhasilan fintech pinjaman. OJK menggunakan istilah wanprestasi dalam menjelaskan kredit macet.
Alasannya, layanan fintech pinjaman ini bersifat perjanjian sehingga di bawah hukum perdata. Istilah NPL tidak ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Untuk menilai keberhasilan fintech pinjaman, OJK menggunakan istilah Tingkat Keberhasilan (TKB) sejak April lalu.
Maka, OJK mengimbau fintech pinjaman untuk mencantumkan TKB atau pengembalian dana maksimal pada hari ke-90 di situsnya. “Jika TKB turun, ada peringatan di situs bahwa kegiatan pinjam-meminjam di fintech itu mengandung risiko,” ujarnya.
(Baca: Cegah Bunuh Diri Nasabah Fintech, OJK Atur Bunga hingga Asuransi)