Riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics menunjukkan, Grab berkontribusi Rp 49 triliiun terhadap ekonomi Indonesia pada 2018. Kontribusi terbesar berasal dari layanan GrabFood, yakni Rp 20,8 triliun.
Survei ini dilakukan terhadap 3.418 responden selama November hingga Desember 2018. "Dengan teknologi, Grab bisa mempertemukan dan menghasilkan permintaan terhadap produk dan jasa pekerja informal, sehingga pendapatannya meningkat,” ujar Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri dalam siaran pers, Kamis (11/4).
(Baca: Riset UI: Mitra Gojek Sumbang Rp 44 Triliun ke Perekonomian)
Survei dilaksanakan secara tatap muka dengan sampel mitra terdaftar dan aktif selama tiga bulan terakhir berdasarkan basis data Grab. Penarikan sampelnya menggunakan metode pengacakan sistematis (systematic random sampling) dan kontrol kualitas call-back terhadap 80 % responden.
Tingkat kesalahan atau Margin of Error dari penelitian ini di bawah 3,5 % dan tingkat kepercayaan 95 %. Survei ini pun dilakukan di lima kota yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar.
Berdasarkan survei ini, penjualan mitra GrabFood di lima kota meningkat 25 % per bulan setelah bermitra dengan Grab. Rerata penjualan mitra naik dari Rp 1,4 juta menjadi Rp 1,85 juta per hari. Sebanyak 52 % mitra dagang memiliki penjualan harian lebih dari Rp 500 ribu per hari.
Penjualan mitra Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga meningkat Rp 11 juta per bulan setelah bergabung dengan Grab. Tambahan pendapatan ini diperoleh tanpa investasi tambahan, seperti perluasan tempat usaha. Karena itu, GrabFood berkontribusi Rp 20,8 triliun terhadap ekonomi Indonesia.
(Baca: Riset FEB UI: Kontribusi Ekonomi Go-Jek Capai Rp 9,9 Triliun )
Survei ini juga mencatat rerata pendapatan mitra GrabBike dan GrabCar di lima kota meningkat 113 % dan 114 %, menjadi Rp 4 juta dan Rp 7 juta per bulannya setelah bermitra dengan Grab.
Pendapatan 50 % mitra GrabBike rerata Rp 3 juta sampai Rp 5 juta setelah bermitra. Sebelumnya, hanya 22 % dari mitra GrabBike yang memiliki pendapatan pada kisaran ini. Bahkan, 18 % mitra berpendapatan Rp 5 juta hingga Rp 7 juta setelah bermitra dengan GrabBike.
Berdasarkan temuan ini, CSIS-Tenggara Strategics menyimpulkan bahwa tingkat pendapatan mayoritas mitra GrabBike 135% di atas rata-rata pengusaha informal. Pendapatan ini juga 208 % di atas pekerja bebas, seperti yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sebelum menjadi mitra Grab, mayoritas responden berpendapatan di bawah Rp 5 juta. Menurut Yose, teknologi Grab mengurangi waktu tunggu mitra pengemudi dan meningkatkan rata-rata jumlah perjalanan yang bisa mereka ambil. Alhasil, pendapatannya meningkat.
Survei ini juga menunjukkan bahwa 38 % mitra GrabBike dan 33 % pengemudi GrabCar yang disurvei tidak memiliki pendapatan atau pekerjaan sebelum bermitra. CSIS dan Tenggara Strategics memperkirakan, GrabBike dan GrabCar berkontribusi Rp 15,7 triliun dan Rp 9,7 triliun masing-masing.
(Baca: Grab Buka Pendanaan Tahap Kedua Bagi Startup Pertanian dan UMKM)
Grab juga menghubungkan toko dengan platform online, lewat Kudo. Survei menunjukkan, 31 % agen Kudo individu tidak memiliki pendapatan sebelumnya. Setelah bergabung dengan Kudo dan Grab, mereka memiliki pendapatan lebih dari Rp 2 juta per bulan. Sebanyak 13 % bahkan berpendapatan lebih dari Rp 6 juta per bulan.
Berkaca dari kondisi tersebut, CSIS dan Tenggara Strategics memperkirakan Kudo berkontribusi Rp 2,7 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Maka, secara keseluruhan Grab dan ekosistemnya menyumbang Rp 49 triliun terhadap perekonomian Indonesia.
Menurut Tim peneliti dan ekonom senior Tenggara Strategics Lionel Priyadi, kontribusi ini menunjukkan bahwa industri digital berpotensi meningkatkan perekonomian dan kualitas hidup pelaku ekonomi di tingkat mikro. "Bila dikelola dengan baik, ekonomi digital bisa menjadi salah satu tumpuan masa depan ekonomi dan kesejahteraan sosial di Indonesia," ujarnya.