Penjualan Produknya Dibatasi, Huawei Gugat Pemerintah AS

AUDY MA
Ilustrasi produk smartphone Huawei
Penulis: Desy Setyowati
8/3/2019, 13.54 WIB

Raksasa teknologi asal Tiongkok Huawei mengajukan gugatan kepada pemerintah Amerika Serikat (AS) atas peraturan yang membatasi penjualan produk mereka. Aturan tersebut bahkan melarang badan pemerintah AS untuk bekerja sama dengan Huawei.

Peraturan yang dimaksud yakni Undang-Undang (UU) Otorisasi Pertahanan Nasional atau National Defense Authorization Act (NDAA) yang ditandatangani oleh Presiden AS Donald Trump, pada Agustus 2018 lalu. Gugatan Huawei atas aturan tersebut diajukan di Pengadilan Distrik AS di Plano, Texas, pada Kamis (7/3). 

Menurut Rotating Chairman Huawei Guo Ping, Kongres AS berulang kali gagal mengajukan bukti yang mendukung adanya peraturan tersebut. Maka itu, Huawei gugat AS. “Kami berharap pengadilan mengeluarkan putusan yang kami yakini akan memberikan keuntungan kepada semua pihak, baik Huawei maupun warga AS,” ujarnya dalam siaran pers, Jumat (8/3).

(Baca: Kisruh Huawei Memanas, IHSG dan Bursa Asia Kompak Terkoreksi)

Mengutip materi gugatan yang disampaikan, Huawei menilai ayat 889 UU NDAA Tahun 2019 menghalangi semua badan pemerintahan AS untuk membeli perlengkapan dan layanannya. Aturan tersebut bahkan menghalangi badan-badan tersebut untuk terlibat dalam kontrak, memberikan hibah atau pinjaman kepada pihak ketiga yang membeli perlengkapan atau layanan Huawei.

Menurutnya, peraturan ini melanggar Klausa Bill of Attainder, Klausa Due Process, dan  prinsip-prinsip Pemisahan Kekuasaan (Separation-of-Powers) yang dilindungi dalam Konstitusi AS. “Pelarangan itu tidak hanya bertentangan dengan hukum, namun juga membatasi Huawei dari persaingan yang adil. Pada akhirnya, ini dapat merugikan konsumen di AS,” ujar dia.

Jika UU ini dibatalkan, ia berjanji Huawei akan menghadirkan lebih banyak teknologi tingkat lanjut bagi AS. Huawei juga akan mendukung pengembangan jaringan 5G di AS. “Dengan menghapus pelarangan melalui NDAA ini, Pemerintah AS akan memiliki fleksibilitas yang diperlukan dalam bekerja sama dengan Huawei untuk mencari solusi bagi masalah keamanan,” ujarnya.

(Baca: Trump akan Intervensi Kasus Huawei, Semua Bursa Saham Asia Menghijau)

Chief Legal Officer Huawei Song Liuping menambahkan, ayat 889 UU NDAA Tahun 2019 disusun berdasarkan sejumlah proposisi yang salah, tidak terbukti, dan tidak teruji. Bahkan, menurutnya peraturan ini bertentangan dengan premis UU. Sebab, Huawei tidak dimiliki, dikendalikan, atau dipengaruhi oleh pemerintah Tiongkok.

Sejauh ini, Global Cyber Security & Privacy Officer Huawei John Suffolk merasa tidak ada bukti yang menyatakan Huawei dikuasai pemerintah Tiongkok. “Kami bangga menjadi perusahaan yang paling terbuka, transparan, serta paling banyak disoroti di dunia,” kata dia.

Dari sudut pandang Huawei, pembatasan dalam NDAA ini akan mencegah pihaknya untuk menyediakan teknologi 5G yang lebih canggih bagi konsumen di AS. Alhasil, hal ini bisa memperlambat penerapan tekonologi 5G pada sektor komersial dan berpeluang menghambat berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja jaringan 5G di AS.

Selain itu, menurut John kebijakan ini akan menghambat proses peningkatan jaringan, sehingga kesenjangan digital di AS akan melebar. Bahkan, pembatasan ini bisa menekan persaingan yang justru menjadikan konsumen AS sebagai korbannya. Sebab, konsumen harus membayar lebih mahal untuk produk dengan mutu yang lebih rendah.

(Baca: Kembangkan Layanan 5G, Huawei Gandeng 22 Operator Global)

Toh, ia mencatat, analisis industri menunjukkan bahwa keterlibatan Huawei dalam persaingan dapat mengurangi biaya infrastruktur nirkabel sebanyak 15% hingga 40%. Penghematan itu setara dengan US$20 miliar anggaran jaringan di Amerika Bagian Utara selama empat tahun ke depan.