Perusahaan teknologi asal Tiongkok, Huawei berencana untuk berfokus pada komputasi awan (cloud) tahun ini, karena bisnis ponsel pintar (smartphone) tertekan sanksi Amerika Serikat (AS). Selain itu, cloud dinilai potensial pada tahun ini.
Dikutip dari South China Morning Post, dua hari sebelum tahun baru, pendiri Huawei Ren Zhengfei mengatakan kepada para stafnya bahwa cloud akan menjadi prioritas perusahaaan pada 2021. Namun, ia menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk menyaingi Alibaba, Microsoft maupun Amazon. Ini mengurangi skala tekanan.
Hal itu dua lini bisnis Huawei yakni internet generasi kelima atau 5G dan smartphone ditekan oleh AS. Oleh karena itu, perusahaan berfokus pada komputasi awan.
Ia mengatakan, perusahaan perlu mengurangi medan pertempuran dengan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan di bisnis cloud seperti Alibaba dan Amazon. "Tidak mungkin bagi kami untuk mengikuti jalur yang sama seperti keduanya. Mereka memiliki akses atas uang tak terbatas di pasar saham AS," kata Ren dikutip dari South China Morning Post, Minggu (3/1).
Meski tidak bermaksud untuk menyaingi pasar kedua perusahaan besar itu, Ren menyatakan bahwa Huawei harus belajar dari kesuksesan Amazon dan Microsoft. Oleh karena itu, Huawei akan mencari peruntungan dengan mengamankan segmen perusahaan dan industri besar sebagai klien cloud.
Amazon, Microsoft hingga Alibaba memang menguasai pangsa pasar cloud secara global. Berdasarkan data Statista, Amazon menguasai sekitar 33% pada kuartal II 2020 dan stabil sejak 2017. Sedangkan Microsoft meraup 18%.
Alibaba menguasai pasar cloud di Tiongkok. Berdasarkan data perusahaaan riset Canalys, korporasi milik Jack Ma ini mempunyai lebih dari 40% pangsa pasar cloud di Negeri Panda. Sedangkan Huawei dan Tencent masing-masing hanya memiliki sekitar 16%.
Pangsa pasar Huawei untuk cloud memang kecil karena dalam beberapa tahun terakhir perusahaan berfokus pada layanan telekomunikasi seperti 5G dan smartphone. Namun, kedua bisnis ini tertekan sanksi AS sejak 2019.
Huawei masuk daftar hitam (blacklist) terkait perdagangan AS sejak Mei 2019. Alhasil, perusahaan Negeri Paman Sam yang ingin bekerja sama harus mengajukan izin kepada pemerintah terlebih dahulu.
Raksasa teknologi asal AS seperti Google sudah beberapa kali mengajukan izin bermitra dengan Huawei, tetapi lisensinya kedaluwarsa pada Agustus lalu. Kini, ponsel dan tablet Huawei yang diluncurkan setelah pertengahan Mei 2019, tidak akan didukung oleh Google Mobile Services (GMS) seperti Gmail dan YouTube.
Sanksi AS juga mengharuskan pembuat cip asing yang menggunakan teknologi AS untuk mengajukan izin untuk menjual ke Huawei. Ini memaksa Huawei menyetop produksi cip per September 2020.
Selain itu, Presiden AS Donald Trump memengaruhi negara lain di Eropa seperti Jerman, Italia dan Prancis untuk tidak memakai solusi 5G Huawei. Padahal, raksasa teknologi Tiongkok memiliki pasar yang cukup besar di Benua Biru.
Oleh karena itu, Huawei berfokus pada bisnis cloud tahun ini. Selain karena sanksi AS, layanan ini mengalami lonjakan permintaan pada 2020 karena pandemi corona.
Gartner memperkirakan, 75% basis data perusahaan global masuk dalam cakupan komputasi awan pada 2023. Data Statista pun menunjukkan, pengeluaran perusahaan untuk infrastuktur teknologi informasi (IT) diprediksi meningkat 3,8% tahun ini karena pandemi Covid-19. Cloud menjadi salah satu teknologi yang diandalkan.
Synergy Research Group menyebutkan, pendapatan layanan infrastruktur global mencapai lebih dari US$ 30 miliar pada kuartal II 2020. "Cloud merupakan pasar yang terbukti kebal terhadap pandemi virus corona," kata Kepala Analis di Synergy Research Group John Dinsdale dikutip dari TechCrunch, November tahun lalu (5/11/2020).