Pejabat Uni Eropa dan Inggris mempertanyakan regulasi raksasa teknologi, setelah Twitter hingga Facebook memblokir akun Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Mereka menilai, perusahaan media sosial memiliki ‘kekuasaan’ untuk menentukan siapa yang tidak dan boleh bersuara.
Twitter memblokir akun Trump secara permanen, karena cuitannya dikhawatirkan mendorong penghasutan seperti kerusuhan di gedung Capitol, Washington DC pekan lalu (6/1). Facebook juga membekukan media sosial pemimpin AS itu hingga pelantikan Joe Biden dan Kamala Harris sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang baru pada 20 Januari.
Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock menilai, tindakan itu menunjukkan bahwa raksasa teknologi mengambil keputusan ‘editorial’. “Ini menimbulkan pertanyaan yang sangat besar tentang bagaimana media sosial seharusnya diatur,” kata dia kepada BBC dikutip dari CNBC Internasional, Senin (11/1).
"Mereka dapat memilih siapa yang tidak dan boleh bersuara di platform," kata Hancock.
Komisaris Uni Eropa untuk pasar internal Thierry Breton mengatakan bahwa CEO raksasa teknologi dapat menghentikan ‘pengeras suara’ potus atau President of The United States tanpa adanya check and balances merupakan hal yang membingungkan.
“Ini tidak hanya menegaskan kekuatan platform, tetapi juga menunjukkan kelemahan yang mendalam terkait cara masyarakat kita diatur di ruang digital,” kata Thierry.
Di Inggris dan Eropa, penerbit seperti surat kabar, memiliki kebebasan tertentu tetapi tetap mengikuti Undang-undang (UU) dan kode etik. Oleh karena itu, mereka dapat dibawa ke pengadilan atau dipaksa untuk mengoreksi konten, jika mempublikasikan hal yang diskriminatif atau memfitnah.
Terkait media sosial, pada 2018, Uni Eropa menerapkan Peraturan Perlindungan Data Umum alias GDPR yang memberikan wewenang lebih besar kepada pengguna atas data mereka. Namun, dengan adanya pemblokiran akun Trump, Inggris dan Eropa mempertanyakan regulasi yang tepat bagi raksasa teknologi seperti Twitter dan Facebook.
Mereka menilai, para big tech ini bertindak sebagai penerbit. Saat ini, Inggris dan Eropa tengah mengkaji aturan baru terkait raksasa teknologi, dalam hal data dan antimonopoli.
"Hukum dan pengadilan Eropa akan terus menetapkan apa yang ilegal, baik offline maupun online, dari pornografi anak, konten teroris, ujaran kebencian, pemalsuan, hasutan, kekerasan hingga pencemaran nama baik, melalui proses demokrasi dan dengan pemeriksaan dan keseimbangan yang sesuai," ujar Thierry.
“Namun saat ini, platform online tidak memiliki kejelasan hukum tentang bagaimana mereka harus memperlakukan konten ilegal di jaringan. Ini membuat masyarakat kita memiliki terlalu banyak pertanyaan tentang kapan konten harus atau tidak boleh diblokir,” kata dia.
Uni Eropa pun meminta Joe Biden, yang mengambil alih pemerintahan AS pada minggu depan, untuk memperhatikan regulasi terkait media sosial. Hal ini karena cakupan raksasa teknologi bersifat global.
“Itulah mengapa Uni Eropa dan AS yang baru harus bergabung, sebagai sekutu dunia bebas, untuk memulai dialog konstruktif yang mengarah pada prinsip-prinsip yang koheren secara global,” kata Thierry.
Sebenarnya, Trump pernah berencana menghilangkan Section 230 pada UU Keterbukaan Komunikasi yang mengatur tentang perlindungan bagi perusahaan media sosial dari tanggung jawab atas konten yang diunggah oleh penggunanya. Trump pun sudah menandatangani perintah eksekutif (executive order) pada Mei 2020 lalu.
Namun, kebijakan itu dikritik oleh Twitter hingga Facebook. "Ini merupakan pendekatan reaksioner dan politisasi terhadap hukum," kata Twitter dikutip dari dari Reuters, Juni lalu (10/6/2020).
Perusahaan menyampaikan, section 230 melindungi inovasi dan kebebasan berekspresi warga AS. "Itu ditopang oleh nilai-nilai demokrasi. Upaya untuk mengikis secara sepihak itu mengancam masa depan kebebasan berbicara dan internet," ujar perusahaan.
Juru bicara Facebook Liz Bourgeois pun mengatakan, perusahaan berupaya melindungi kebebasan berekspresi penggunanya. Facebook menilai, perintah eksekutif itu justru membatasi kebebasan warga AS dalam berekspresi.
"Mencabut atau membatasi Section 230 akan memiliki efek sebaliknya. Ini akan membatasi lebih banyak percakapan secara online," ujar dia.