Pemerintah Tiongkok menerapkan aturan baru antimonopoli sejak Minggu (7/2). Regulasi ini bisa menjerat raksasa teknologi seperti Alibaba dan Tencent.
Pemerintah pun sudah menyelidiki kedua perusahaan terkait dugaan monopoli sejak akhir tahun lalu. Tepatnya, setelah aturan antimonopoli yang baru itu dirilis oleh Badan Regulasi Pasar Tiongkok (SAMR) pada November 2020.
"Aturan baru akan menghentikan perilaku monopoli oleh platform digital dan melindungi persaingan yang sehat di pasar," kata SAMR dikutip Reuters, Minggu (7/2).
Beberapa hal yang menjadi perhatian regulator yakni perusahaan dilarang memaksa penjual atau mitra menggunakan layanan. Tidak boleh menghambat inovasi teknologi, memanipulasi pasar dengan data dan algoritme, serta penetapan harga secara sepihak.
Tiongkok sebelumnya memiliki Undang-undang (UU) Antimonopoli yang terbit pada 2007. Namun, ini berlaku bagi perusahaan asing yang mendominasi pasar.
Pada 2009 misalnya, aturan itu menjerat Coca-Cola dengan denda US$ 2,3 miliar karena memblokir pembelian China Huiyuan Juice Group. Enam tahun kemudian, perancang cip (chipset) Amerika Serikat (AS) Qualcomm didenda US$ 975 juta dan dipaksa menurunkan royalti.
Namun, SAMR mengatakan bahwa aturan itu tidak dapat mengakomodasi tindakan monopoli perusahaan digital. "Perilaku monopoli kini lebih tersembunyi, menggunakan data dan algoritme. Aturan platform membuatnya lebih sulit untuk menentukan apa yang dimaksud dengan perjanjian monopoli," katanya.
Oleh karena itu, SAMR membuat regulasi baru. Ini juga untuk mengonfirmasi serangkaian praktik monopoli yang rencananya akan ditindak oleh regulator. Sejauh ini, SAMR baru menyelidiki Alibaba dan Tencent karena menguasai pasar Tiongkok.
Kapitalisasi pasar gabungan perusahaan digital di Tiongkok hampir US$ 2 triliun atau sekitar Rp 28.126 triliun. Khusus untuk Alibaba dan Tencent bahkan melampaui bank milik negara, seperti Bank of China.
Berdasarkan data Statista pada 2019, Tmall milik Alibaba menguasai pangsa pasar 50,1% penjualan e-commerce Tiongkok. Perusahaan yang berdiri pada 1999 ini awalnya hanya e-commerce. Kini bisnisnya menggurita ke banyak sektor seperti keuangan, media digital hingga komputasi awan (cloud).
Alibaba mencatatkan pertumbuhan pendapatan 37% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 221,1 miliar yuan atau US$ 33,9 miliar (Rp 475,4 triliun) pada kuartal akhir 2020.
Sedangkan pendapatan pengembang PUBG dan aplikasi WeChat, Tencent diperkirakan tumbuh 24,6% yoy menjadi 131,83 miliar yuan atau sekitar US$ 20,36 miliar pada tahun lalu. Penghasilan bersih diprediksi naik 29% menjadi 32,85 miliar yuan.
Regulator juga menyoroti Alibaba dan Tencent karena dianggap membatasi mitra penjual atau merek (brand) menjual produk di platform lain. Pada 2019 lalu, SAMR mengundang lebih dari 20 perusahaan digital, termasuk Alibaba dan Tencent.
Dalam pertemuan itu, SAMR meminta kedua raksasa teknologi tersebut berhenti mewajibkan penjual menandatangani perjanjian kerja sama eksklusif.
SAMR juga mendenda Alibaba dan Tencent 1,5 juta yuan atau Rp 3,24 miliar pada akhir tahun lalu. Alasannya, kedua raksasa teknologi Tiongkok itu tidak melaporkan akuisisi.
Alibaba didenda 500 ribu yuan atau Rp 1 miliar, karena meningkatkan kepemilikan saham di perusahaan retail modern Intime Retail Group Co pada 2017. "Perusahaan tidak meminta persetujuan kepada otoritas," demikian dikutip dari Bloomberg, akhir tahun lalu (14/12).
Sedangkan Tencent didenda karena unit bisnis e-book mereka China Literature tidak melaporkan akuisisi studio film New Classics Media pada 2018. Tencent membangun kerajaan layanan hiburan digital di Tiongkok, dengan gencar berinvestasi untuk memperluas pasar.
Regulasi antimonopoli baru itu memang secara eksplisit memerintahkan perusahaan digital melaporkan tindakan investasi kepada regulator. Bagi perusahaan yang tidak melaporkan kesepakatan, maka bakal didenda maksimal 10% dari total penjualan tahunan.
Senior partner di Dentons China Deng Zhisong mengatakan, regulasi baru itu akan membuat para pelaku digital semakin khawatir. "Kegiatan investasi di pasar secara umum pasti akan melambat," kata Deng dikutip dari KrAsia, bulan lalu (19/1). "Tapi kami tidak bisa mengatakan bahwa itu hambatan bagi perkembangan pasar. Ini untuk penegakan hukum dan memulihkan kegiatan investasi."