Perusahaan asal Tiongkok, Huawei akan menginvestasikan dana US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,6 triliun untuk mengembangkan kendaraan tanpa pengemudi alias autonomous vehicle (AV) dan mobil listrik. Raksasa teknologi ini bakal bersaing dengan Tesla, milik Elon Musk.
"Kami akan menginvestasikan lebih dari US$ 1 miliar dalam pengembangan komponen mobil tahun ini," kata Rotating Chairman Huawei Eric Xu dikutip dari Bloomberg, Senin (12/4).
Xu mengatakan, Huawei bakal bermitra dengan tiga produsen untuk membuat mobil listrik. Ketiganya yakni BAIC Group, Chongqing Changan Automobile Co. dan Guangzhou Automobile Group Co.
Meski begitu, perusahaan akan tetap membawa nama Huawei sebagai sub-merek sendiri. Logo korporasi pun kemungkinan besar bakal dipasang pada mobil, selayaknya komputer.
Huawei sebenarnya sudah menyematkan teknologinya pada beberapa produk mobil listrik. Salah satunya, menempatkan fitur informasi dan hiburan milik Huawei pada kendaraan Mercedes-Benz.
Xu mengklaim, teknologi kendaraan tanpa pengemudi milik Huawei telah melampaui Tesla pada beberapa bidang. Ia mencontohkan, teknologi Huawei memungkinkan mobil melaju lebih dari 1.000 kilometer (621 mil) tanpa campur tangan manusia.
Pada Maret lalu, Huawei dikabarkan bakal meluncurkan produk baru berupa mobil listrik seharga 300 ribu yuan atau US$ 46 ribu (Rp 663,6 juta). Rumor ini diungkapkan oleh sumber di situs web mikroblog Tiongkok Weibo.
Sedangkan harga mobil listrik model 3 Long Range AWD milik Tesla dibanderol sekitar US$ 48 ribu atau Rp 692 juta.
Xu mengatakan, perusahaan mengembangkan kendaraan terbarukan karena potensinya besar. Berdasarkan data Canalys, penjualan mobil listrik di Tiongkok diperkirakan naik lebih dari 50% tahun ini. Sebab, konsumen lebih memilih mobil ramah lingkungan.
Pemerintah Tiongkok pun menambahkan 30 juta mobil setiap tahun. "Ini sudah menjadi bisnis yang sangat besar bagi Huawei," kata Xu.
Selain Huawei, produsen smartphone asal Tiongkok lainnya Xiaomi menginvestasikan dana US$ 10 miliar selama 10 tahun ke depan dan mendirikan anak usaha di bidang mobil listrik.
"Xiaomi berharap dapat menawarkan kendaraan listrik pintar berkualitas agar semua orang di dunia menikmati hidup cerdas kapan dan dimana saja," kata perusahaan dikutip dari CNBC Internasional, akhir bulan lalu (30/3).
Selain kendaraan listrik, Huawei dikabarkan merambah bisnis peternakan babi, teknologi komputasi awan (cloud), dan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).
Perluasan bisnis itu dilakukan Huawei di tengah merosotnya penjualan ponsel imbas sanksi Amerika Serikat (AS) dan pandemi corona. Data Counterpoint menunjukkan bahwa pengiriman ponsel Huawei turun 41% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 33 juta pada kuartal IV 2020.
Jumlah tersebut di bawah Xiaomi (43 juta), OPPO (34 juta), dan Vivo (33 juta). "Jumlah pengiriman ponsel Huawei secara dramatis surut di sebagian besar pasar sebagai akibat dari sanksi AS," kata analis di Canalys Research Amber Liu laporan, dikutip dari CNBC Internasional, Januari lalu (28/1).
Lembaga riset TrendForce pun memperkirakan, pangsa pasar smartphone Huawei turun ke posisi ketujuh pada 2021. Ini artinya raksasa teknologi Tiongkok itu diprediksi kalah dari Samsung, Apple, Xiaomi, OPPO, Vivo, dan Realme.
"Keenam produsen ponsel itu diramal menguasai 80% pangsa pasar secara global pada 2021," demikian isi laporan, dikutip dari South China Morning Post, Januari lalu (5/1).
Huawei masuk daftar hitam (blacklist) perdagangan AS sejak Mei 2019. Pemerintah Negeri Paman Sam melarang korporasi bekerja sama dengan Huawei, tanpa izin.
Alhasil, Google tidak dapat bermitra dengan Huawei. Perangkat Huawei pun tidak didukung sistem operasi atau operating system (OS) Android maupun Google Mobile Services (GMS) seperti Gmail, YouTube, dan lainnya.
AS juga memblokir 152 afiliasi semikonduktor Huawei per Agustus 2020. Huawei pun kesulitan mendapatkan komponen untuk bisnis smartphone. Perusahaan juga terpaksa menyetop produksi cip, termasuk prosesor andalannya Kirin sejak September tahun lalu.
Imbas kondisi tersebut, Huawei disebut-sebut memangkas produksi smartphone lebih dari 60% tahun ini. Sumber di pemasok mengatakan, raksasa teknologi itu berencana hanya memesan komponen untuk 70 juta hingga 80 unit. Jumlahnya jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai sekitar 189 juta.