Taliban Diduga Kuasai Data Biometrik Warga Afganistan, Ini Bahayanya

ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ismail/hp/cf
Tahanan penjara Taliban yang baru dibebaskan berkumpul di penjara Pul-i-Charkhi, di Kabul, Afganistan, Selasa (26/5/2020).
24/8/2021, 13.51 WIB

Taliban diduga menguasai data biometrik warga Afganistan. Ahli IT atau informasi teknologi dan aktivis menilai, data ini sangat sensitif dan bisa digunakan untuk mengancam masyarakat yang teridentifikasi menentang.

Dikutip dari The Intercept, sumber militer di Afganistan mengungkapkan bahwa alat biometrik bernama Handheld Interagency Identity Detection Equipment (HIIDE) sudah dikuasai Taliban. Hal senada disampaikan oleh pejabat negara.

Sedangkan sumber Reuters mengatakan, Taliban sudah melakukan inspeksi ke rumah-rumah warga menggunakan alat biometrik tersebut. Data biometrik ini berupa sidik jari, iris mata, gerakan tubuh, tinggi badan, dan ciri-ciri lain yang terlihat dari individu.

Tentara Amerika Serikat (AS) dan pemerintah Afganistan sebelumnya mengumpulkan data biometrik masyarakat. Data ini yang diduga dikuasai oleh Taliban.

Pemerintah Afganistan memakai data biometrik untuk verifikasi pemilih saat pemilu. Otoritas Informasi dan Statistik Nasional Afganistan mencatat, ada enam juta data KTP berbasis biometrik atau e-Tazkira warga yang dikumpulkan.

Tentara AS juga memakai data biometrik warga Afganistan untuk verifikasi kontraktor dan pegawai lokal. Terkadang, mereka memakainya untuk mengidentifikasi pelaku pengeboman.

Peneliti Keamanan Siber Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengatakan, data biometrik warga memang seharusnya dikuasai oleh pemerintah. Di Indonesia, data ini dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Menurutnya, negara punya tanggung jawab yang besar dalam menggunakan data biometrik itu kesejahteraan masyarakat. "Jangan sampai untuk kejahatan yang menyengsarakan rakyat," kata Pratama kepada Katadata.co.id, Selasa (24/8).

Ia juga mengungkapkan, kerugian negara dan masyarakat akan besar jika data itu bocor.

Spesialis Keamanan Teknologi Vaksincom Alfons Tanujaya sepakat bahwa suatu negara perlu menjaga data biometrik dengan cara mengenkripsi sebelum disimpan. "Alhasil, jika terjadi kebocoran, data tersebut tidak bisa digunakan," ujarnya.

Penasihat senior kelompok aktivis Human Rights First Brian Dooley mengatakan, data biometrik warga Afganistan yang dikuasai oleh Taliban bisa digunakan untuk mengancam penentang.

Dikutip dari BBC Internasional, dokumen PBB menunjukkan bahwa Taliban mengintensifkan perburuan para penentang yang teridentifikasi berbasis data biometrik.

Selain data biometrik, Human Rights First khawatir Taliban akan mengidentifikasi warga penentang lewat platform online. Taliban dianggap bisa melacak histori digital atau koneksi sosial warga Afganistan melalui platform seperti Facebook, LinkedIn, atau Twitter.

Amnesty International juga mengatakan, ribuan warga Afganistan, termasuk akademisi, jurnalis dan pembela hak asasi manusia, berada pada risiko serius karena Taliban.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan