Huawei Technologies berusaha untuk memimpin di bidang teknologi jaringan internet generasi keenam alias 6G. Ini dilakukan ketika solusi 5G-nya diblokir di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Menurut laporan NikkeiAsia, rencana Huawei mengembangkan 6G tiba saat AS dan Jepang tengah mendorong teknologi ini. Produsen ponsel asal Cina ini pun gencar merekrut tenaga ahli dari luar negeri.
“Karyawan harus melanggar ‘batas di langit’ dan menetapkan standar global dalam industri,” kata pendiri sekaligus kepala eksekutif Huawei Ren Zhengfei dalam pertemuan internal dengan para peneliti dan karyawan bulan lalu, dikutip dari Gizmochina, Kamis (16/9).
Berdasarkan dokumen internal perusahaan, pejabat senior mengatakan bahwa Huawei akan terus mengembangkan bisnis 5G dan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI). Namun sembari bergerak maju di teknologi generasi berikutnya.
Walaupun Huawei menyadari bahwa rintangan terbesar dalam mengembangkan 6G yakni AS. “Penelitian kami tentang 6G adalah persiapan menghadapi ‘hujan’. Kami bertujuan merebut hak paten 6G. Kami tidak boleh menunggu sampai 6G menjadi layak,” katanya.
Sampai saat ini, Huawei telah memegang paten esensial standar dalam jumlah terbesar untuk teknologi 5G. Namun beberapa negara seperti Cina, AS, Jepang, dan Korea Selatan mulai mengembangkan 6G.
Oleh karena itu, Huawei mulai gencar mengembangkan 6G. Raksasa teknologi Cina ini pun merekrut tenaga ahli asing dalam jumlah besar.
“Perusahaan kami berada dalam periode kritis kelangsungan hidup dan pengembangan strategis. Jadi kami harus memiliki bakat yang dibutuhkan jika ingin maju,” kata Ren Zhengfei, dikutip dari SCMP, Rabu (15/9).
Itu dilakukan ketika Huawei mengembangkan banyak teknologi seperti 6G, komputasi awan (cloud), sistem operasi atau operating system (OS) HarmonyOS sebagai pengganti Android, dan Huawei Mobile Services (HMS).
Sedangkan CEO Ericsson Börje Ekholm menilai, negara-negara Barat seperti AS dan Eropa rugi jika Cina membuat standardisasi 6G sendiri. Sebab, Tiongkok akan membentuk ekosistem teknologi.
“Ekosistem Cina akan menjadi pesaing tangguh bagi Barat,” kata dia dalam wawancara eksklusif dengan Light Reading dikutip dari Telecoms, bulan lalu (25/8).
Menurutnya Cina memiliki keunggulan dari sisi riset dan pengembangan (R&D) bidang teknologi telekomunikasi. “Meskipun investasi 5G kuat di AS, kurang jelas apakah ekosistem Barat akan mengikuti pengeluaran R&D yang besar di Asia, khususnya Cina,” kata Ekholm.
Pemisahan ekosistem teknologi antara AS dan Cina pun tengah terjadi. AS melarang vendor telekomunikasi Tiongkok, seperti Huawei, di banyak pasar. Negeri Paman Sam juga membujuk Eropa melakukan hal serupa.
Hal itu berdampak juga ke Ericsson, yang pangsa pasarnya menurun di Cina. Ini karena Swedia memblokir jaringan 5G Huawei.
Meskipun di satu sisi, Ericsson bisa menggaet lebih banyak pasar di Eropa dan AS yang ditinggal oleh Huawei.
Di tengah tekanan terhadap perusahaan Cina oleh AS, Huawei memperkirakan akan menghadirkan 6G pada 2030. Ini seiring dengan rencana pemerintah Tiongkok.
Di Negeri Tirai Bambu, Huawei pun memimpin dalam perlombaan paten 6G, mengalahkan raksasa lainnya termasuk ZTE, OPPO, Vivo. Secara khusus, ada 38 ribu paten yang diisi secara global. Cina memiliki sekitar 35% di antaranya.
Cina pun menjadi negara dengan paten 6G terbanyak di dunia, menurut laporan Huawei Central.
Huawei berinvestasi dan meneliti 6G sejak 2017. Selanjutnya, perusahaan berencana melakukan pembicaraan terbuka tentang 6G dengan pakar industri lain untuk mendapatkan kemungkinan definisinya.
Selain itu, akan segera merilis kertas putih atau white paper 6G yang menjelaskan persyaratan dasar jaringan. “Kami percaya bahwa 6G akan didasarkan pada 5G dan apa yang telah dipelajari darinya,” kata Huawei dikutip dari Huawei Central.