Rembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) terus molor dari target. Namun ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa regulasi ini berpotensi segera terbit.
Salah satu isu yang membuat pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi alot yakni soal lembaga independen yang mengawasi pelaksanaannya. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ingin otoritas ini di bawah instansinya.
Sedangkan Komisi I ingin otoritas pengawas pelindungan data pribadi itu di bawah presiden, bukan kementerian.
Kabarnya, Komisi I mulai membuka diskusi dengan Kominfo terkait lembaga pengawas independen tersebut. DPR disebut sepakat jika otoritas pelindungan data ini di bawah Kominfo.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Bobby Adhityo Rizaldi tidak mengonfirmasi benar atau tidak kabar tersebut. “Belum secara resmi, sepengetahuan saya,” kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (6/10).
Pembicaraan antara Komisi I dan Kominfo itu kabarnya terjadi setelah sertifikat vaksin corona Presiden Joko Widodo (Jokowi) bocor pada awal September (3/9). Walaupun, kemudian diketahui bahwa data yang bocor yakni Nomor Induk Kependudukan (NIK), bukan dari aplikasi PeduliLindungi.
“Belum ada resmi bentuk kelembagaan yang diusulkan pemerintah untuk dibahas bersama,” kata Bobby.
DPR juga memutuskan untuk memperpanjang masa pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi. Ini disepakati dalam rapat paripurna DPR bulan lalu (30/9).
"November kami akan mulai lagi pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi. Semoga akhir tahun selesai," kata Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari kepada Katadata.co.id, Rabu (6/10).
DPR menjalani masa reses pekan ini. Ini merpakan periode anggota parlemen bekerja di luar gedung DPR. Mereka akan bertemu konstituen di daerah pemilihan (Dapil) masing-masing.
Sedangkan pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi sudah melalui lebih dari tiga masa sidang. Sebanyak 145 dari total 371 daftar inventarisasi masalah (DIM) selesai dibahas.
Poin utama yang perlu disepakati oleh pemerintah dan DPR yakni soal lembaga pengawas. Ketua Komisi I Meutya Hafid mengatakan, badan ini harus betul-betul kuat untuk melakukan pengawasan, terutama terkait praktik pencurian data pribadi masyarakat.
“Meskipun namanya data pribadi, tetapi ketika berjumlah jutaan maka akan menjadi data kolektif yang berpotensi mengancam keamanan negara,” kata Meutya dalam keterangan resmi, bulan lalu (8/9).
Meski begitu, ia sepakat bahwa pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi harus segera diselesaikan. Apalagi sudah ada 126 negara yang memiliki peraturan setingkat UU mengenai perlindungan data.
Sedangkan dari 180 negara, Indonesia menjadi salah satu yang memiliki pengguna internet terbesar yang belum memiliki UU Pelindungan Data Pribadi. “Ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk dapat segera menyelesaikan,” ujar dia.
Menteri Kominfo Johnny G Plate menyampaikan, maraknya kebocoran data pribadi di Tanah Air juga semakin menegaskan bahwa Indonesia butuh payung hukum. Ada 29 lembaga dan perusahaan yang mengalami kebocoran data dalam tiga tahun terakhir.
Jumlah kasus meningkat setiap tahun yakni dari tiga pada 2019 menjadi 20 tahun lalu. Tahun ini juga ada beberapa dugaan kebocoran data yang menimpa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Presiden Jokowi hingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Saya tegaskan bahwa penuntasan RUU Pelindungan Data Pribadi menjadi salah satu prioritas utama kami. Melalui UU ini, landasan hukum untuk menjaga kedaulatan dan keamanan data akan semakin kokoh,” katanya.