Facebook memperluas cakupan fitur beranda yang minim konten politik menjadi tersedia di 80 negara, termasuk Indonesia. Ini dilakukan karena survei internal menunjukkan, mayoritas pengguna tak suka konten politik berseliweran di platform.
Raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) itu awalnya mengenalkan fitur beranda minim konten politik itu pada Januari. Saat itu, baru diuji coba di beberapa negara, seperti AS.
Setelah melakukan survei kepada pengguna di seluruh dunia baru-baru ini, Facebook pun memperluas cakupan fitur itu ke 75 negara sehingga total menjadi 80 "Ini karena orang-orang tidak ingin politik dan perjuangan mengambil alih pengalaman mereka," kata juru bicara Facebook dikutip Engadget, Kamis (14/10).
Responden yang merupakan pengguna Facebook di seluruh dunia mengatakan, mereka rindu platform versi lama yang digunakan untuk menghubungkan orang. Pengguna sama sekali tidak ingin ada paksaan untuk berpartisipasi dalam pertarungan politik antara mantan presiden AS Donald Trump versus presiden AS sekarang, Joe Biden.
"Saat kami mendapatkan lebih banyak wawasan dari tes ini, kami akan membagikan pembaruan tentang apa yang kami pelajari," kata Facebook.
CEO Facebook Mark Zuckerberg membuat fitur beranda minim konten politik setelah banyak aksi protes di AS pada Januari. Protes ini terkait dengan Pemilu AS pada 2021 yang membuat Trump kalah.
Kemudian masa pendukung Trump membuat kerusuhan di gedung Capitol, Washington DC pada Januari (6/1). Hal ini diperparah oleh komentar Trump di Facebook yang dianggap provokatif.
Facebook pun terpaksa memblokir akun Donald Trump saat itu. Penangguhan dilakukan selama dua tahun untuk mencegah informasi bernada provokasi berseliweran di platform.
Namun kini Facebook juga dikritik setelah mantan manajer produk Facebook Frances Haugen mengungkapkan bahwa perusahaan sengaja membiarkan konten ujaran kebencian (hate speech) berseliweran di platform supaya untung.
Haugen juga melaporkan dokumen rahasia terkait cara Facebook menangani konten ujaran kebencan. Ia pun bersaksi kepada senator AS di Capitol Hill.
Ia mengatakan, algoritme Facebook yang diperbarui pada 2018 didesain sedemikian rupa guna mendorong banyak keterlibatan orang di platform.
Namun berdasarkan analisis perusahaan, keterlibatan yang paling banyak terjadi yakni menanamkan rasa takut dan benci pada pengguna. Seiring berjalannya waktu, algoritme yang berjalan di Facebook mengarah pada konten kemarahan dan kebencian.
"Facebook lebih memilih untuk mengoptimalkan kepentingan sendiri, seperti menghasilkan lebih banyak uang," kata Haugen dikutip dari The Verge, pekan lalu (4/10).
Haugen juga yakin CEO Facebook Mark Zuckerberg membiarkan konten ujaran kebencian itu berseliweran di platform. "Ia (Zuckerberg) tidak pernah membuat platform kebencian, tetapi dia membiarkan pilihan itu dibuat," katanya.
Kemudian, muncul pembocor lain yang merupakan mantan data scientist Facebook Sophie Zhang. Ia mengungkap kebobrokan perusahaan soal mengatasi konten ujaran kebencian dan hoaks, terutama di negara berkembang.