Jakarta. Teknologi digital sungguh mengubah sekaligus mengejutkan dunia. Misalnya di bidang penyiaran, era 5G memungkinkan menonton televisi digital melalui gawai. Tanpa perlu pulsa atau kuota internet karena bukan streaming. Ya, menonton televisi dengan tayangan bersih gambarnya, canggih teknologinya, namun melalui gawai, bisa di mana saja. Hal ini sudah dilakukan di Jerman dan Swiss.
“Di era 5G, gawai dapat dipakai untuk menonton televisi, tanpa pulsa. Ini penting karena ini membuat penyiaran FTA (Free to Air) mampu bertahan di era digital. Kita dapat menikmati tayangan gratis lewat telepon genggam, kalau lewat youtube kan bayar pulsa,” demikian dikatakan Ketua KPI Pusat Agung Suprio dalam Rakornas ATSDI 2021: Era TV Digital dan Bangkitnya Ekonomi Kreatif, Bandung 1-3 November 2021 lalu.
Kemampuan ini adalah peluang bagi lembaga penyiaran. Agung menjelaskan televisi FTA (Analog) bertahan karena penetrasinya luar biasa. “Penetrasinya mencapai 90 persen lebih di Indonesia. Sampai ke pedesaan,” kata Agung dalam sambutannya. Cakupan ini menjadi modal saat bermigrasi ke sistem siaran TV Digital. Penonton yang sudah banyak tetap bisa terjangkau dengan gawai nantinya.
Di sisi lainnya, bahwa menonton televisi FTA bisa dilakukan dengan gawai membuka lebar peluang sang pencipta konten (content creator). Konten yang kuat, menarik, inspiratif berpeluang besar merebut penonton yang ada juga. Konten kreator ini bisa individu atau lembaga penyiaran.
Sekalipun lembaga penyiaran hanya memiliki mencakup satu wilayah layanan saja, tetapi ketika kontennya berkualitas, bisa berpotensi tampil di banyak stasiun. “Jangan khawatir hanya punya 1 wilayah layanan di FTA tidak bisa profit. Konten itu key (kuncinya), konten itu netral. Kalau punya tv cuma di Jogja misalnya. Tapi program siaran menarik, bisa tayang di seluruh dunia nanti,” kata Direktur Penyiaran, Direktorat Jenderal PPI, Kemenkominfo Geryantika Kurnia saat Rakornas.
Dalam kesempatan yang sama Geryantika menjelaskan program migrasi ke siaran TV Digital sudah siap. “Prioritas utama dalam migrasi ke siaran TV Digital adalah wilayah layanan yang ada siaran TV Analognya. Ada 314 kabupaten/kota atau 112 wilayah layanan yang terdampak langsung penghentian siaran TV Analog. Nah, dari jumlah itu infrastrukturnya sudah 78 persen selesai. Semua ibukota provinsi sudah ada siaran TV Digital. TVRI sendiri sudah hadir di 120 lokasi wilayah layanan,” kata Geryantika.
Pada November ini 34 provinsi sudah siap semua. “Kita sedang monitoring dan evaluasi, powernya. Sebenarnya sudah ada lembaga penyiaran yang mematikan siaran analognya di daerah-daerah tertentu, yang penontonnya sedikit. Karena biaya untuk simulcast, yaitu siaran TV Digital tanpa mematikan siaran TV Analog sangat besar. Saya hitung di salah satu daerah, untuk simulcast, biayanya Rp 500 juta (baru infrastrukturnya). Saat analog dimatikan, cuma 100 juta,” kata Geryantika.
Dengan melihat kehebatan saat bertransformasi ke digital tersebut, Geryantika mengajak semua pihak, khususnya ATSDI untuk mendukung migrasi ke siaran TV Digital. Lebih cepat bermigrasi semakin baik.
“Multipliernya migrasi ke siaran TV Digital ini luar biasa. Salah satunya internet kecepatan tinggi. Dengan internet kecepatan tinggi ini, orang mudah berjualan dan memulai usaha. Jadi semakin kuat ekonomi, ekonomi digital semakin bagus. Kita sudah menyiapkan roadmap, ada 12.500 desa sedang dibangun infrastruktur internet,” kata Geryantika.
Langkah pertama dan penting yang bisa dilakukan bersama adalah mengecek televisi di rumah masing-masing. Jika TV di rumah sudah ada tuner standar DVBT2 di dalamnya, cukup melakukan scanning ulang saja. Bila pesawat televisi masih analog, perlu tambahan Set Top Box (STB).
Bagi masyarakat yang mampu bisa mulai membeli, memasang STB, bermigrasi ke TV Digital sekarang dan menikmati beragam manfaatnya. Bersih gambarnya, jernih suaranya, canggih teknologinya. Gratis menontonnya, tidak perlu biaya langganan atau pulsa.