Warga Taiwan dan Korea, serta perusahaan seperti Adidas mulai gencar membeli tanah virtual. Ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk membeli lahan virtual ini.
Dikutip dari Wired, tanah virtual diciptakan menggunakan lapisan jaringan digital yang terhubung secara geografis. Seperti NFT alias non-fungible token, orang yang membeli lahan virtual ini dapat mengklaim kepemilikannya.
"Membeli tanah virtual seperti membeli properti di Manhattan, Amerika Serikat (AS) tetapi di dunia di mana siapa pun dapat secara layak menciptakan alternatif dalam jumlah tak terbatas yang mudah dijangkau," demikian dikutip dari Wired pada Minggu (26/12).
Pembelian lahan virtual ini sedang digandrungi di berbagai belahan dunia. Penduduk Taipei, Taiwan James Zhou misalnya, membeli lahan virtual sejak Maret 2021. Pada saat itu, ia menghabiskan uang kripto (cryptocurrency) miliknya senilai US$ 15.390 untuk membeli 11 bidang tanah virtual yang sebelumnya dimiliki oleh perusahaan Amerika Serikat (AS).
Ia beralasan membeli lahan virtual karena lahan fisik sudah semakin mahal. Penyanyi pop asal Cina JJ Lin juga menginvestasikan US$ 171 ribu dalam bentuk lahan virtual.
Insinyur Korea Selatan Shaun juga mengatakan bahwa melonjaknya harga rumah dan ketidaksetaraan pendapatan di Korea Selatan menarik generasi milenial dan Z atau Gen MZ ke ‘dunia virtual’. Mereka membeli tanah di dunia virtual dengan tujuan menampung bisnis nyata di sana. Ia mencontohkan, klub malam yang membebankan biaya akses kepada konsumen.
Perusahaan global seperti Adidas pun membeli sebidang lahan virtual pada November 2021. Perusahaan asal Jerman ini menamai lahan virtualnya sebagai “adiVerse”.
Dikutip dari The Motley Fool, ada sejumlah cara-cara yang bisa dilakukan dalam membeli lahan virtual ini. Pertama, pastikan calon pembeli mempunyai uang kripto.
"Anda tidak dapat membeli lahan di dunia nyata tanpa uang, dan hal yang sama berlaku untuk lahan virtual," demikian dikutip dari The Motley Fool.
Pembeli dapat mengakses platform seperti Decentraland dan The Sandbox. Platform berbasis blockchain ini memungkinkan pengguna membeli tanah, bermain game, dan saling berinteraksi.
Setelah mengakses platform, pembeli mendaftarkan akunnya. Pembeli kemudian dapat masuk ke akun dan menelusuri jenis lahan seperti parcels atau estates.
Pembeli juga dapat bertransaksi menggunakan platform pihak ketiga yang menawarkan peluang pembelian dan penjualan, seperti OpenSea atau NonFungible.com. Melalui platform pihak ketiga ini, pembeli dapat melihat bidang tanah virtual serta harga yang diminta dalam mata uang lokal yang setara dengan dunia nyata.
Apabila pembeli menemukan lahan yang sesuai, pembeli cukup mengkliknya dan membelinya. Pada platform Decentraland, pembeli juga dapat membuat penawaran pada properti di dalam platform dan pemiliknya berhak menerima atau menolak penawaran pembeli.
Pembeli kemudian melakukan transaksi lewat blockchain yang membutuhkan waktu satu menit. Transaksi juga dicatat menggunakan pengenal anonim. Pembeli kemudian mendapatkan hak kepemilikan lahan virtual tersebut.
Meski tanah virtual diminati oleh warga Taiwan, Korea, hingga perusahaan Adidas, pakar internet AS dari George Washington University Dave Karpf memperingatkan bahwa lahan virtual tidak memiliki nilai fundamental. Karpf mengatakan, pembeli percaya bahwa mereka berada pada tahap awal masa depan digital. Nilai investasi pun akan meningkat secara eksponensial.
"Tapi ini adalah spekulasi murni dan tidak diatur. Ini perjudian. Beberapa orang akan beruntung dan menjadi kaya. Tapi banyak yang akan kehilangan investasi mereka," katanya.