PwC mencatat, investasi ke teknologi iklim mencapai US$ 87,5 miliar atau sekitar Rp 1.245 triliun selama Juli 2020 – Juni 2021. Jumlahnya meningkat  210% atau tiga kali lipat dibandingkan 12 bulan sebelumnya.

Secara rinci, investasi yang mengalir ke teknologi iklim pada semester II 2020 sekitar US$ 27,5 miliar (Rp 391 triliun) dan semester I 2021 US$ 60 miliar (Rp 854 triliun).

Angka tersebut diperoleh dari analisis terhadap 15 solusi teknologi iklim, seperti tenaga surya, tenaga angin, limbah makanan, produksi hidrogen hijau hingga makanan alternatif atau protein rendah.

Teknologi iklim mencakup teknologi yang berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). “Dunia memiliki waktu 10 tahun untuk mengurangi separuh emisi rumah kaca global jika ingin mencapai net zero pada 2050,” kata Global Climate Leader PwC Inggris Emma Cox dalam keterangan tertulis, Senin (27/12).

PwC mencatat, investasi ke teknologi iklim stabil selama 2018 – 2020. Ini dipengaruhi oleh tren ekonomi makro dan pandemi global.

Namun investasi melonjak tajam pada semester I 2021. Ini didorong oleh peningkatan fokus pada lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan alias Environmental, Social & Governance (ESG) di pasar swasta, peraturan dan standar baru yang muncul, serta ribuan perusahaan yang berkomitmen menerapkan strategi nol emisi karbon.

Amerika Serikat (AS) memimpin dalam investasi teknologi iklim. Negara ini menarik hampir 65% dari investasi modal ventura (venture capital) yakni US$ 56,6 miliar.

Disusul oleh Eropa US$ 18,3 miliar. Ini didorong oleh peningkatan mobilitas dan transportasi 494%. Sedangkan Cina US$ 9 miliar.

“Dalam 12 bulan terakhir ini, kita melihat komitmen global untuk menanggapi krisis iklim dan mencapai net zero. Kini terdapat peluang penting bagi venture capital untuk menetapkan arah perjalanan investasi, dengan meningkatkan fokus pada area-area teknologi utama yang akan mendorong kemajuan terbesar dalam dekarbonisasi,” kata Emma.

PwC pun mengungkapkan beberapa temuan terkait teknologi iklim, sebagai berikut:

  • Rata-rata besaran transaksi naik hampir empat kali lipat dari US$ 27 juta pada semester I 2020 menjadi US$ 96 juta pada semester I 2021.
  • Jumlah investor aktif naik dari di bawah 900 menjadi sekitar 1.600
  • Perusahaan akuisisi bertujuan khusus alias Special Purpose Acquisition Company (SPAC) bidang teknologi iklim mengumpulkan dana US$ 25 miliar pada semester I 2021. Ini lebih dari sepertiga dari total.
  • Investasi ke teknologi iklim paling besar mengalir ke kendaraan listrik (EV), mobilitas mikro, dan model transit inovatif lainnya. Area ini mengumpulkan dana hampir US$ 58 miliar selama Juli 2020 – Juni 2021. Totalnya, mewakili dua pertiga dari total pendanaan teknologi iklim.
  • Sektor mobilitas dan transportasi, industri, manufaktur, manajemen sumber daya, dan jasa keuangan mengalami pertumbuhan paling pesat dari tahun ke tahun (year on year/yoy). Pertumbuhan pada Semester II 2019 - Semester I 2021, masing-masing US$ 58 miliar, US$ 6,9 miliar, dan US$ 1,2 miliar.
  • Lima teknologi teratas yang mewakili lebih dari 80% potensi pengurangan emisi di masa depan meliputi: tenaga surya, tenaga angin, teknologi limbah makanan, produksi hidrogen hijau, dan makanan alternatif atau protein rendah.

ESG, Government, and Infrastructure Advisor dari PwC Indonesia Julian Smith,  menyampaikan, pertumbuhan pesat teknologi iklim merupakan mekanisme penting untuk melandaikan kurva emisi. Selain itu, menempatkan langkah di jalur yang tepat untuk memenuhi sasaran penurunan 1,5 derajat suhu bumi.

“Investasi diperlukan di semua bidang,” kata dia. Oleh karena itu, pendanaan ke bidang teknologi baru dapat mendorong inovasi dan terobosan untuk mempercepat dekarbonisasi.

Namun tantangannya yakni implementasi, kecepatan, skala hingga keterlibatan dan tindakan dari pembuat kebijakan serta investor dalam merealisasikan potensi teknologi iklim ini.