Metaverse Dunia Virtual Tingkatkan Risiko Kasus Pelecehan Seksual

Youtube Population One
Game Population One
31/12/2021, 17.31 WIB

Perusahaan seperti induk Facebook, Meta, Apple hingga agensi Blackpink, YG Entertainment gencar merambah metaverse. Namun, teknologi dunia virtual ini dinilai dapat meningkatkan kasus pelecehan seksual secara online.

Kasus pelecehan seksual di metaverse telah menimpa penggemar game virtual reality (VR) asal Toronto bernama Chanelle Siggens. Ini terjadi ketika ia bermian gim VR berjudul Population One menggunakan perangkat Oculus dari Meta.

Saat menyalakan game, dia mengarahkan avatar ke lobi virtual yang imersif. Ia kemudian menunggu permainan dimulai.

Tapi saat dia menunggu, avatar pemain lain mendekatinya. Orang asing itu kemudian menirukan adegan meraba-raba dan ejakulasi ke avatarnya.

Ia terkejut dan meminta orang asing dengan avatar seperti laki-laki itu berhenti.

"Dia mengangkat bahu seolah-olah mengatakan: 'Saya tidak tahu harus berkata apa kepada Anda'. Ini adalah metaverse, saya akan melakukan apa yang saya inginkan," kata Siggens dikutip dari The New York Times, Kamis (30/12).

Kasus lain, seorang penguji beta di platform VR metaverse Horizon Worlds Meta hampir diraba oleh orang asing. Penguji ini kemudian melaporkan aksi orang asing itu ke grup Facebook.

"Pelecehan seksual bukanlah lelucon," katanya dikutip dari New York Post, dua pekan lalu (17/12). 

Peneliti pelecehan online di University of Washington mengatakan, pelecehan seksual di metaverse bisa lebih buruk daripada di platform biasanya. Sebab, VR akan menjerumuskan orang ke dalam lingkungan digital, di mana sentuhan yang tidak diinginkan dapat dilakukan dan terasa nyata dengan pengalaman sensorik.

"Setiap tindakan tubuh mereka terjadi dalam 3D. Itu bagian dari alasan mengapa reaksi emosional bisa lebih kuat di ruang metaverse dan mengapa VR memicu sistem saraf internal dan respons psikologis yang sama," katanya.

Pelanggaran seperti intimidasi, ujaran kebencian hingga pelecehan seksual di metaverse juga terjadi lebih sering dibandingkan ruang digital biasa. Menurut Center for Countering Digital Hate, pelanggaran pada game dalam satu permainan VR populer, VRChat terjadi sekitar sekali setiap tujuh menit permainan.

Juru bicara Meta Krstina Millian mengatakan, sebenarnya perusahaan mempunyai fitur bernama 'Safe Zone'. Ini memungkinkan pengguna memblokir interaksi dengan pengguna lain.

Menurutnya, perusahaan juga bekerja dengan pembuat kebijakan, pakar dan mitra industri untuk pengembangan metaverse. Meta juga telah menginvestasikan US$ 50 juta dalam penelitian global untuk mengembangkan produknya secara bertanggung jawab.

Sebelumnya, mantan pegawai Facebook Frances Haugen juga khawatir atas kehadiran teknologi ini. Haugen khawatir atas cara induk Facebook mengelola data pengguna dan algoritme di dunia virtual metaverse.

“Facebook belum benar-benar merancang keamanan dengan desain ke dalamnya sejak awal,” kata dia dikutip dari CBS News, dua pekan lalu (18/12).

Ia menjelaskan bahwa platform seperti TikTok, di mana sebagian kecil konten menghasilkan sebagian besar tampilan, lebih mudah dimoderasi dibandingkan dengan model Facebook yang lebih terdistribusi.

Sedangkan di dunia virtual, moderasi konten, menghapus disinformasi, dan melacak pelanggar akan menjadi tantangan. Ini karena interaksi tidak direkam.

Mantan CEO Google Eric Schmidt pun menilai bahwa metaverse bisa berdampak buruk kepada manusia. "Saya sudah menunggu selama sekitar tiga puluh tahun teknologi ini. Tapi, apakah Facebook akan mampu membangunnya, saya tidak tahu," kata dia dikutip dari CNBC Internasional, bulan lalu (2/11).

Ia mengatakan, teknologi dunia virtual atau metaverse akan menimbulkan masalah baru bagi manusia. Sebab, orang menjadi lupa akan kehidupan nyata dan lebih mengedepankan dunia virtual. 

"Jadi, metaverse ini belum tentu hal terbaik bagi manusia," kata Schmidt dikutip dari Business Insider

Ia juga menilai, teknologi dunia virtual alias metaverse membawa tantangan regulasi. "Dalam beberapa tahun, orang akan memilih untuk menghabiskan waktu dengan kacamata metaverse. Tapi siapa yang menetapkan aturan?" ujarnya. 

Selain itu, metaverse membawa risiko keamanan siber. Schmidt mengatakan, Facebook yang berganti nama menjadi Meta akan menjalankan sebagian besar algoritme dan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) sebagai dewa raksasa palsu. Ini dapat menciptakan hubungan yang tidak sehat dan parasosial.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan