Selain Bank Indonesia, Ini Deretan Lembaga Diduga Alami Kebocoran Data

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Ilustrasi kebocoran data
Penulis: Desy Setyowati
20/1/2022, 15.02 WIB

Peneliti keamanan darkweb yang dikenal sebagai DarkTracer mengatakan, geng Conti Ransomware menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI) menjadi korban mereka. Conti ransomware merupakan peretas (hacker) asal Rusia.

“Geng Conti Ransomware mengumumkan ‘Bank Indonesia’ pada daftar korban,” kata DarkTracer melalui akun Twitter, Kamis (20/1). Data yang diambil dari BI berukuran 487,09 Megabyte (MB).

Namun DarkTracer tidak memerinci data apa saja yang diambil oleh Geng Conti Ransomware.

Katadata.co.id juga sudah mengonfirmasi dugaan data bocor tersebut kepada BI serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Namun belum ada tanggapan.

Conti Ransomware pernah menyusup ke jaringan perusahaan perhiasan kelas atas Graff yang memiliki pelanggan seperti Donald Trump, David Beckham, Tom Hanks, dan Sir Philip Green.

Akhir tahun lalu, Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur Amerika Serikat (CISA), Biro Investigasi Federal (FBI), dan Badan Keamanan Nasional (NSA) memperingatkan peningkatan serangan Conti ransomware.

Sebelumnya, ada beberapa dugaan kebocoran data atau peretasan yang dialami oleh kementerian dan lembaga (K/L) Indonesia, di antaranya:

  1. Mei 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan kebocoran data jutaan daftar pemilih tetap (DPT). Informasi yang bocor berupa nama lengkap, nomor kartu keluarga, nomor induk kependudukan (NIK), tempat dan tanggal lahir, alamat rumah, serta beberapa data pribadi lainnya.
  2. Mei 2020, pengguna Twitter Teguh Aprianto dengan nama akun @secgron menyampaikan, 1,3 juta data pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bocor. Namun kementerian membantah hal ini.
  3. Oktober 2020, situs DPR diretas
  4. Mei 2021, 279 juta data peserta BPJS Kesehatan diduga bocor. Ini berupa nama lengkap, tanggal lahir, NIK, email hingga nomor ponsel.
  5. Agustus 2021, data eHAC di aplikasi versi lama diduga bocor.
  6. September 2021, sertifikat vaksinasi milik Presiden Joko Widodo (Jokowi) beredar di media sosial. Penyebabnya diduga karena NIK presiden yang bocor.
  7. Oktober 2021, situs Pusat Malware Nasional dari BSSN terkena peretasan dengan metode perusakan atau deface.
  8. November 2021, hacker asal Brasil yang menyebut dirinya 'son1x' mengklaim telah membobol data Polri. 'son1x' mengaku sudah memiliki data pribadi dan rahasia para anggota Polri beserta orang-orang terdekat.
  9. Awal Januari (7/1/2022), jutaan data pasien di berbagai rumah sakit di server Kemenkes diduga bocor.
  10. Akhir Januari (20/1/2022), Bank Indonesia diduga menjadi korban peretasan Conti ransomware

Secara keseluruhan, Kominfo telah menindak 43 kasus kebocoran data pribadi selama tahun lalu. Pelaku dari 19 di antaranya telah dikenai sanksi.

Peneliti Keamanan Siber Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha menyampaikan, banyaknya lembaga pemerintah yang dibobol peretas, menunjukkan kesadaran atas keamanan siber yang rendah. Ini juga bisa dilihat dari anggaran dan tata manajemen yang mengelola sistem informasi.

Ia mencontohkan kasus eHAC, ketika tim Kemenkes tidak merespons dua kali laporan terkait kebocoran data.

Indonesia juga belum memiliki Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Jika regulasi ini tersedia, harapannya ada upaya peningkat sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan tata kelola manajemen sistem informasi lebih baik lagi.

Pratama menilai, keamanan siber pemerintah sudah mengkhawatirkan. “Lebih dari sekadar lampu kuning. Sudah peringatan keras,” ujar Pratama. “Ini baru yang ketahuan. Yang tidak ketahuan, bisa lebih banyak.”

Akan tetapi, Fungsional Sandiman Muda Direktorat Keamanan Siber dan Sandi sektor Keuangan, Perdagangan, dan Pariwisata BSSN Mawidyanto Agustian mengatakan, peringkat Indonesia pada Global Cybersecurity Index (GCI) 2020 membaik dibandingkan 2018.

Pada 2020, Indonesia menempati peringkat 24 dari 182 negara. Pada 2018, Nusantara di urutan ke 41 dari 175 negara. GCI dirilis The International Telecommunication Union (ITU). Peringkat Indonesia di atas Vietnam, Swedia, Swiss, Polandia, dan Thailand.

Amerika Serikat (AS) berada di urutan pertama dengan skor 100. Disusul Inggris 99,54. Sedangkan Indonesia mendapatkan 94,88. Skor ini diperoleh berdasarkan perhitungan berbagai aspek, seperti hukum, teknikal, organisasi hingga kerja sama.

"Jadi kondisi keamanan sumber Indonesia ini lebih baik. Kami benahi regulasi di sana, sini," kata Mawidyanto dalam konferensi pers virtual, akhir tahun lalu (28/10/2021).