Jelang Pembahasan RUU PDP, ELSAM Serukan Pembentukan Otoritas Khusus

Katadata
Ilustrasi, perlunya perlindungan data pribadi di Indonesia.
Penulis: Agung Jatmiko
22/5/2022, 16.00 WIB

Menjelang pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) mengenai perindungan data pribadi atau RUU PDP, yang akan dilaksanakan pada 23 Mei, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyuarakan pentingnya pembentukan badan khusus penanganan PDP.

Dalam keterangan resmi, Minggu (22/5), ELSAM memandang keberadaan otoritas PDP yang independen harus diwujudkan, agar Indonesia memiliki legislasi PDP yang setara dengan negara‐negara anggota G20. Pasalnya, Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara yang belum memiliki legislasi PDP yang komprehensif, yang diawasi oleh sebuah otoritas PDP yang independen.

"Dalam amanah Kepresidenan G20, Indonesia seharusnya perlu menunjukkan kredibilitas dan reputasi yang baik," tulis ELSAM dalam keterangan resminya.

Menurut ELSAM, meletakkan Otoritas PDP di bawah kementerian, seperti usulan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), bukan opsi terbaik. Ini belajar dari pengalaman dua negara G20, Jepang dan Korea Selatan, yang pada akhirnya harus melakukan amandemen terhadap UU PDP mereka, yang kemudian membentuk otoritas PDP yang independen.

Pengalaman Jepang dan Korea Selatan ini dipandang dapat menjadi contoh bagi Indonesia, agar sejak awal mendesain efektivitas UU PDP, melalui pembentukan otoritas PDP yang independen.

Selain itu, secara konstitusional ketiadaan otoritas PDP yang independen dinilai akan berimplikasi pada sulitnya mencapai tujuan pelindungan data pribadi, sebagai bagian dari hak atas privasi warga negara, yang dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

ELSAM menyebut, ada lima pertimbangan perlunya keberadaan otoritas PDP independen. Pertama, UU PDP memiliki jangkauan material yang mengikat entitas publik dan privat, sehingga implementasinya hanya akan efektif jika diawasi oleh otoritas yang independen, bukan bagian dari kementerian. Meski Kementerian juga merupakan bagian dari pengendali data, yang memiliki kewajiban kepatuhan pada UU PDP.

Ini mengingat sifat otoritas PDP bukan bekerja untuk melayani kepentingan pemerintah, tetapi mengawasi kepatuhan seluruh entitas pengendali data, termasuk pemerintah. Oleh karena itu, otoritas PDP diletakkan di bawah Kemenkominfo, ini artinya kementerian tersebut bertindak pengendali data sekaligus pengawas terhadap dirinya sendiri dan pengendali data lainnya.

Kedua, meletakkan Otoritas PDP di bawah kementerian/lembaga, menjadikannya sangat bergantung sepenuhnya kepada sistem pemerintahan. Baik dari segi pengambilan keputusan, wewenang, pengisian jabatan, hingga keuangan.

Ketika otoritas PDP ditempatkan di bawah suatu kementerian seperti Kemenkominfo, wewenangnya tidak akan bisa lebih luas dari tugas, fungsi, dan wewenang kementerian tersebut. Sementara, urusan komunikasi dan informasi bukanlah urusan pemerintahan yang bersifat mutlak, sehingga terbuka peluang pembubaran atau peleburan Kominfo di masa mendatang.

Sementara, jika otoritas PDP merupakan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), peluang pembubaran sewaktu‐waktu juga sangat terbuka. Peluang ini dapat terjadi, jika keberadaannya dinilai tidak lagi sejalan dengan agenda politik dan prioritas presiden yang sedang menjabat. Pilihan ini menyebabkan otoritas PDP tidak memiliki kedudukan yang pasti, terkait eksistensi dan keberlanjutannya.

Ketiga, menempatkan otoritas PDP sebagai badan di bawah kementerian atau LPNK, akan berisiko besar pada ketidakefektifan dalam pengambilan keputusan.

Keempat, jika yang terjadi adalah membentuk mekanisme pengawasan khusus terhadap otoritas PDP, bila berada di bawah Kominfo, seperti halnya pengawasan terhadap Badan Intelijen Negara (BIN), juga dinilai tidak tepat.

Sebab, otoritas PDP tidak bekerja untuk melayani kepentingan pemerintah, tetapi mengawasi kepatuhan pemerintah terhadap hukum yang tercantum dalam PDP. Pengawasan terhadap otoritas PDP akan dilakukan oleh Presiden dan DPR secara bersamaan, melalui penyerahan laporan kinerja secara berkala, dan sejumlah mekanisme lain yang diatur dalam UU PDP.

Kelima, jika otoritas PDP didudukkan sebagai institusi pemerintah, maka fungsi‐fungsi yang melekat dan seharusnya menjadi tanggung jawab lembaga ini, tidak akan bisa dilaksanakan secara efektif. Fungsi regulator misalnya, peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas di bawah Kominfo atau LPNK tidak memiliki posisi hierarki yang jelas dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang‐Undangan.

Sebab, ini akan berimplikasi menjadikan peraturan yang dibuat tidak memiliki kekuatan mengikat atau implementatif terhadap kementerian/lembaga atau bahkan swasta di luar sektor komunikasi dan informasi. Padahal, salah satu fungsi penting otoritas PDP adalah menerbitkan regulasi‐regulasi teknis dan pendoman yang akan menjangkau badan publik dan privat sebagai pengendali/pemroses data.

Guna menjamin hadirnya UU PDP yang kuat, dan mampu diterapkan secara efektif dan optimal untuk melindungi data pribadi warga negara, ELSAM menekankan lima hal berikut:

  1. DPR dan Pemerintah menjamin kelanjutan pembahasan RUU PDP, sekaligus mengakselerasi prosesnya dengan tetap memperhatikan keterbukaan dan partisipasi, serta memastikan kualitas materi legislasinya, agar dapat diimplementasikan secara efektif.
  2. DPR dan Pemerintah memastikan pembentukan Otoritas PDP yang independen, mengingat hal tersebut merupakan fondasi untuk memastikan efektif dan optimalnya implementasi UU PDP di Indonesia.
  3. Model, format, dan bentuk Otoritas PDP yang independen, dapat belajar dan mengacu pada praktik terbaik lembaga‐lembaga negara independen yang sudah ada, baik dari segi kedudukan, pertanggungjawaban, rekrutmen dan pemberhentian komisioner, tugas dan fungsi, wewenang yang diberikan, sistem kepegawaian, maupun penganggarannya.
  4. Praktik terbaik implementasi UU PDP di berbagai negara, yang mayoritas memiliki Otoritas PDP independen, juga dapat menjadi rujukan bagi Indonesia, dalam pengembangan Otoritas ini.
  5. Komitmen untuk menyelesaikan pembahasan RUU PDP, harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada setiap proses pembicaraan terkait dengan arus data lintas batas negara, dalam Forum G20, guna menjamin pelindungan data pribadi warga negara Indonesia.