Banjir Pengguna saat Pandemi, Perusahaan Game Online Kini PHK Massal

ANTARA FOTO/Irfan Anshori/aww.
Atlet cabang olahraga (Cabor) Mobile Legends bersiap mengikuti turnamen Esport Piala Kemenpora RI 2021 di Pusat Latihan Kota (Puslatkot) Esport Indonesia (ESI) Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (21/4/2021).
Penulis: Desy Setyowati
2/7/2022, 16.51 WIB

Pengembang gim dan video game kebanjiran pengguna selama pandemi corona. Namun kini mereka ramai melakukan pemutusan hubungan kerja alias PHK, termasuk PUBG dan TikTok.

Perusahaan video game di San Francisco, Unity, memberhentikan ratusan karyawan. Ini dilakukan beberapa minggu setelah CEO memberi tahu pegawai bahwa tidak ada PHK dalam waktu dekat.

Unity menyediakan mesin game yang mendukung banyak judul populer termasuk “Genshin Impact” dan “Pokémon Go.”

Perusahaan itu mengonfirmasi bahwa mereka akan memberhentikan sekitar 4% dari jumlah pekerja atau kurang dari 200 orang.

"Sebagai bagian dari proses perencanaan lanjutan, kami secara teratur menilai tingkat sumber daya terhadap prioritas perusahaan. Kami memutuskan untuk menyelaraskan kembali beberapa sumber daya untuk lebih mendorong fokus dan mendukung pertumbuhan jangka panjang kami," kata juru bicara Unity dalam pernyataan pers, dikutip dari SFGate, Sabtu (2/7).

Karyawan akan menerima pesangon. Selain itu, diberi waktu 30 hari untuk mencari pekerjaan lain, menurut laporan Kotaku dan VentureBeat.

Niantic juga melakukan PHK terhadap 8% staf atau sekitar 85 – 90 orang. Hal ini karena perusahaan terkena dampak gejolak ekonomi.

Pengembang gim itu juga membatalkan empat proyek, yakni:

  1. Kemitraan terkait augmented reality (AR) dengan Hasbro dan TOMY yang diumumkan tahun lalu, yang disebut Transformers: Heavy Metal.
  2. Diumumkan 2020, kolaborasi Niantic dan perusahaan teater imersif yang berbasis di New York yang memproduksi Sleep No More, Punchdrunk
  3. Proyek dengan nama kode Blue Sky
  4. Proyek dengan nama kode Snowball

Niantic telah ada sejak 2010. Perusahaan ini awalnya dikenal dengan game komunitas berbasis lokasi, Ingress.

Perusahaan itu bermitra dengan The Pokémon Company untuk Pokémon Go. Grup analitik seluler Sensor Tower memperkirakan, perusahaan menghasilkan pendapatan US$ 6 miliar atau rata-rata US$ 1 miliar per tahun.

Niantic kemudian menerbitkan game lain seperti Harry Potter: Wizards Unite. Namun tidak setenar Pokemon Go.

Minecraft Earth juga ditutup tahun lalu setelah kesulitan mempertahankan game berbasis lokasi di tengah Covid-19.

Dragon Quest Walk dan Jurassic World Alive yang digabungkan, bahkan tidak dapat menghasilkan setengah dari pendapatan Pokemon Go pada kuartal pertama 2022.

Oleh karena itu, Niantic memutuskan untuk melakukan efisiensi dengan cara mengurangi jumlah pekerja. "Kami baru-baru ini memutuskan untuk menghentikan produksi pada beberapa proyek dan mengurangi tenaga kerja sekitar 8% untuk fokus pada prioritas utama," kata juru bicara Niantic kepada Bloomberg.

Pengembang PUBG, Tencent juga dikabarkan memangkas jumlah pekerja. Sumber The Wall Street Journal mengatakan, raksasa teknologi Cina akan melakukan PHK terhadap puluhan karyawan di WeChat.

Selain itu, pegawai di unit video game akan dikurangi. Utamanya, yang mengelola komunitas pemain dan pengembang gim in-house.

“Hal itu karena perusahaan gagal memperoleh izin penerbitan judul game dari pemerintah Cina,” demikian dikutip dari The Wall Street Journal.

Induk TikTok, ByteDance juga dikabarkan akan melakukan PHK terhadap pekerja di lini bisnis video gim. Ini dilakukan karena perusahaan menunda rencana ekspansi karena masalah regulasi dan pertimbangan ekonomi.

Di Indonesia, unicorn asal India Mobile Premier League (MPL) melakukan PHK terhadap 10% dari total pegawai atau sekitar 100 orang. Startup e-sports ini juga bersiap untuk keluar dari pasar Nusantara.

Keputusan unicorn itu memecat karyawan merupakan bagian dari upaya mengurangi biaya. “Ini dilakukan karena MPL ingin mempertahankan kinerja keuangan,” ujar sumber yang mengetahui masalah tersebut dikutip dari Tech in Asia, bulan lalu (2/6).

Hampir 30% dari total staf yang diberhentikan berasal dari Indonesia.

MPL juga ingin keluar dari pasar Tanah Air. Kemudian, startup ini mengalihkan fokus ke Amerika Serikat (AS), Eropa, dan India, yang disebut perusahaan sebagai pasar ‘tiket tinggi’.