Perubahan perilaku masyarakat yang kini lebih mengandalkan sistem komputer dan jaringan internet telah membuka beragam peluang sekaligus tantangan bagi perekonomian dunia.
Presidensi G20 Indonesia sebagai forum internasional utama yang mengusung isu ekonomi, secara konsisten mengajukan berbagai inisiatif untuk mengoptimalkan pemanfaatan data. Kelompok Kerja Ekonomi Digital atau Digital Economy Working Group (DEWG) telah membahas kerangka Data Free-Flow with Trust (DFFT) dan Cross-Border Data Flow (CBDF) yang telah diciptakan selama Presidensi G20 Jepang 2019.
Chair DEWG G20, Mira Tayyiba, menjelaskan Indonesia telah memfasilitasi diskusi pemangku kepentingan untuk memajukan upaya kolaboratif pemanfaatan data untuk kepentingan semua.
“Dengan pertumbuhan internet yang semakin meningkat, setiap dari kita di sini memiliki kepentingan penting dalam tata kelolanya, terutama dalam penerapan tata kelola arus data,” ungkapnya dalam Lokakarya Identifikasi Langkah-langkah Penyeimbangan Kepentingan bagi Multistakeholders pada Arus Data Lintas Batas, yang berlangsung secara hibrida dari Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (22/07).
Sebagai bagian dari isu prioritas Kelompok Kerja Ekonomi Digital, Mira berharap lokakarya ini dapat mendorong semua pemangku kepentingan dan perwakilan anggota G20 untuk melanjutkan pembahasan secara intensif.
Menurut Mira, pembahasan tata kelola data memiliki arti penting, terutama dengan meningkatnya risiko dan kekhawatiran arus bebas data dari beragam aspek teknis, praktis, dan konseptual. Dia juga menilai, anggota G20 memiliki keinginan yang sama untuk memajukan diskusi tentang data yang diusulkan Indonesia.
“Dalam rangka mengatasi berbagai isu bergulir tentang pemanfaatan data di masyarakat kita. Isu-isu tersebut menjadi relevan seiring dengan interaksi kondisi dunia yang semakin bergantung pada langkah-langkah berbasis digital, seperti dalam mendukung pemulihan pasca-Covid-19 dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan,” tuturnya.
Lokakarya yang digelar dalam rangkaian Pertemuan Ketiga DEWG G20 itu merupakan upaya Pemerintah Indonesia dalam memfasilitasi pembahasan mengenai tata kelola dan aliran data lintas negara.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel A. Pangerapan.
Menurutnya, internet memungkinkan setiap individu melakukan aktivitas usaha atau menciptakan peluang bisnis baru, tetapi karena akses tersebut juga berjalan antar negara, diperlukan kesamaan pandangan terkait penggunaan arus lintas data digital.
“Keterkaitan ini telah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memaksimalkan potensi teknologi baru, seperti Big Data Analytic, Internet of Things (IoT), Blockchain, dan Artificial Intelligent Technology," ujar Semuel saat membuka lokakarya, Jumat (22/07).
Semuel juga menjelaskan, untuk memaksimalkan potensi internet dan mengembangkan lingkungan kondusif bagi ekonomi digital, Indonesia mendorong diskusi untuk menemukan kesamaan dalam pengaturan dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan aliran data lintas batas negara.
Dalam survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), di Indonesia 76,63% atau lebih dari 3 dari 4 responden kelompok umur 13-18 tahun mengaku meningkatkan frekuensi penggunaan internetnya.
Sebab menurutnya, setiap negara telah mengembangkan rezim perlindungan data pribadi mereka berdasarkan sistem hukum dan budaya masing-masing. "Kepercayaan tampaknya menjadi elemen yang perlu digunakan untuk mengatasi kekurangan kerangka hukum yang selaras untuk perlindungan data pribadi," jelasnya.
Workshop ini bertujuan untuk memajukan identifikasi kesamaan, komplementaritas, dan elemen konvergensi untuk mendorong interoperabilitas masa depan.
Menurutnya, pertukaran pandangan dan perspektif tentang praktik terbaik masing-masing negara diperlukan untuk menerapkan keseimbangan tata kelola dan aliran data lintas batas negara.
“Workshop ini juga menjadi acuan untuk mendukung kemajuan Data Free Flow dengan Trust dan diskusi terkait Cross Border Data Flow yang menekankan pada langkah-langkah teknis dan nonteknis yang diperlukan untuk kegiatan digital lintas batas,” tegas Semuel.