Freeport & Telkomsel Ungkap Sebab Teknologi Canggih Sulit Ada di Papua

ANTARA/Marius Frisson Yewun
Salah satu tower Palapa Ring yang dibangun di pedalaman Papua
Penulis: Desy Setyowati
1/12/2022, 11.44 WIB

Indonesia mulai beralih ke digital dan mengadopsi teknologi canggih seperti metaverse. Namun Freeport Indonesia dan Telkomsel mengungkapkan bahwa Papua menghadapi sejumlah tantangan untuk mengikuti transformasi digital ini.

Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menargetkan pembangunan menara Base Transceiver Station atau BTS sebanyak 7.000 titik hingga 2024.

Target tersebut bagian dari pembangunan BTS pada 9.113 titik wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

“Kami optimistis bisa tercapai pada 2024,” kata Tenaga Ahli Menteri Kominfo bidang Komunikasi dan Media Massa Devie Rahmawati dalam acara Regional Summit 2022 bertajuk ‘Transformasi Digital untuk Pembangunan Daerah Berkelanjutan’ yang diadakan oleh Katadata di Menara Danareksa, Jakarta, Kamis (1/12).

Namun salah satu yang menjadi tantangan menurut Kominfo yakni literasi digital. Oleh karena itu, kementerian menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi yang 12,4 juta peserta per tahun.

Manager IT Infrastructure PT Freeport Indonesia Arief Wiriadinata menyampaikan, perusahaan juga menggencarkan literasi digital untuk masyarakat Papua dan kontraktor lokal. “Kami ada institute di mana lulusan terutama masyarakat Papua belajar bukan hanya teknologi pertambangan, tetapi juga (teknologi) dari awal,” ujar dia.

Namun transformasi digital di Papua juga terhambat infrastruktur pendukung seperti jalan. Padahal sarana ini dibutuhkan untuk membawa bahan baku menara BTS.

Selain itu, ada persoalan keamanan. “Jaringan kami sering putus,” kata Arief tanpa memerinci penyebabnya.

“Ini sedikit menghambat kami untuk mengadopsi komputasi awan (cloud). Padahal sekarang serba cloud,” tambah Arief.

Cloud adalah layanan gabungan pengiriman data, termasuk server, perangkat lunak (software), penyimpanan data, basis data (database), jaringan, serta analisis melalui internet.

Padahal menurutnya, jika infrastruktur telekomunikasi dan pendukunganya tersedia, maka bisnis berbasis digital bisa berkembang pesat di Papua. Ia mencontohkan, e-commerce sudah bisa dijangkau di wilayah ini, namun biaya ongkir alias ongkos kirimnya mahal.

“Jadi peluang bisnis di Papua masih banyak,” kata dia. “Kami sudah adopsi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan big data. Kehadiran fiber optic membuka kesempatan bagi kami untuk mengembangkan teknologi.’

Vice President RAN Engineering and Project Telkomsel Akhmad pun mengatakan, ketersediaan air, jalan, dan infrastruktur dasar lainnya berperan dalam upaya perusahaan menyediakan akses telekomunikasi di Papua.

“Ada beberapa kasus, kami butuh teknologi panel surya, tetapi investasinya besar,” kata Akhmad.

Keamanan juga menjadi tantangan. “Bagaimana kami bisa memasang (menara BTS) di pegunungan. Ada banyak kasus ketika kami ingin membangun di sana, kami perlu berkoordinasi dengan pihak keamanan di sana,” tambah dia.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa Telkomsel membangun infrastruktur telekomunikasi yang sama di Papua maupun Jawa. Hal ini karena potensi pertumbuhan penggunaan layanan di Indonesia Timur tinggi.

“Pertumbuhan penggunaanya 10% atau lebih tinggi dibandingkan daerah lain,” ujar Akhmad. “Pangsa pasar besar dan pertumbuhan ekonomi Papua 14% menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).”