Badan Meteorologi Jepang sempat mewaspadai potensi tsunami akibat Gunung Semeru erupsi pada Minggu (4/12). Bagaimana kecanggihan teknologi Jepang untuk mengantisipasi terjadinya bencana?
Mereka sebelumnya menyelidiki kemungkinan ancaman tsunami di dua wilayah Okinawa akibat erupsi Gunung Semeru. Okinawa merupakan prefektur di bagian paling selatan Jepang.
Prefektur Okinawa terdiri dari ratusan pulau yang disebut Kepulauan Ryukyu dan membentuk rantaian kepulauan sepanjang 1.000 kilometer lebih.
Badan Meteorologi Jepang kemudian mengatakan, jika erupsi Gunung Semeru sangat berpotensi memicu tsunami, maka gelombang akan menghantam kawasan Miyakojima/Yaeyama sekitar Pukul 14.30 waktu setempat.
Namun berdasarkan pemantauan awal, citra satelit Himawari tak menunjukkan perubahan signifikan pada tekanan gelombang laut akibat erupsi Gunung Semeru.
Hal senada disampaikan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). "Dampak erupsi saat ini adalah abu vulkanik yang berdampak pada bagian barat daya, barat, dan selatan Gunung Semeru," kata PVMBG dikutip dari Antara, Minggu (4/12).
Kecanggihan Teknologi Jepang untuk Antisipasi Bencana Alam
Gempa bumi 9 skala richter di Jepang Timur pada 11 Maret 2011 menjadi gempa terkuat yang pernah tercatat di Negeri Sakura. Lindu ini pun memicu tsunami di sepanjang pantai Pasifik, terutama di Prefektur Iwate, Miyagi, dan Fukushima.
Tsunami yang menerjang pantai Prefektur Iwa mencapai 40,5 meter. Ini menjadi tsunami terbesar yang pernah tercatat di Jepang, dan menimbulkan kerusakan sangat parah.
Kunci utama Jepang untuk meminimalkan korban manusia akibat tsunami adalah imbauan untuk mengungsi ke tempat lebih tinggi sesegera mungkin setelah gempa bumi. Pemerintah Jepang akan menggunakan sistem radio administratif pencegahan bencana untuk menyampaikan informasi evakuasi.
Survei oleh Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang, tsunami 2011 lalu memakan korban 18 ribu orang karena 35% orang yang tinggal di daerah terkena dampak tidak mendengar informasi audio dari speaker.
Pemerintah Jepang pun menyadari bahwa sistem komunikasi yang lebih baik penting untuk mengantisipasi jumlah korban yang besar.
Kota Sendai di Prefektur Miyagi adalah salah satu dari 108 daerah yang terancam tsunami. Kota ini berupaya memecahkan tantangan tersebut dengan berinvestasi dalam sistem pengumuman darurat menggunakan pesawat tak berawak alias drone.
Drone tersebut sepenuhnya otomatis dan berfungsi mendorong orang-orang mengungsi ketika peringatan tsunami dikeluarkan.
Jepang pun menerapkan sistem penanganan bencana yang baru pada Oktober. Sistem ini telah diuji coba dan didemonstrasikan.
Pemerintah Negeri Sakura bekerja sama dengan Nokia, Hitachi, Blue Innovation, dan Andex untuk mengembangkan sistem itu.
Dengan sistem baru itu, dua drone akan dibagi menjadi dua kelompok dan menyerukan evakuasi dari ketinggian 50 meter di atas tanah sekitar 8 km dari wilayah pesisir antara Miyagino-ku dan Wakabayashi-ku, Kota Sendai.
Fitur utama dari sistem drone itu adala jaringan komunikasi nirkabel pribadi khusus, yang bebas dari gangguan bahkan jika terjadi bencana. Kamera infra merah dipasang pada drone untuk mengambil gambar korban bencana dan objek lain.
Gambar tersebut kemudian dikirim ke markas tanggap bencana kota. Ini memungkinkan pemerintah mengkaji kerusakan di daerah terpencil dengan aman dan secara realtime.
Sistem drone tersebut dinilai lebih cepat ketimbang menggunakan helikopter. Pemerintah Jepang kini tengah mengintegrasikan sistem ini dengan kepolisian dan dinas pemadam kebakaran.
Dengan begitu, sistem drone tersebut dapat digunakan untuk berbagi informasi tentang rute yang tidak dapat dilalui, kebakaran, dan kondisi pemadaman listrik. “Ini akan meningkatkan kecepatan operasi penyelamatan,” kata Digital Editor World Economic Forum Naoko Kutty awal bulan lalu (1/11).
Jepang selama ini berfokus mencegah kerusakan lebih besar akibat bencana. Apalagi, data World Economic Forum menunjukkan bahwa sekitar 96% Bantuan Pembangunan Resmi atau Official Development Assistance (ODA) dunia dialokasikan untuk pemulihan pasca-bencana.
Hanya 4% yang dialokasikan untuk pengurangan risiko bencana.
“Membalik persentase itu adalah satu-satunya cara agar bencana tidak menghancurkan lagi,” kata Kepala Kantor Pengurangan Risiko Bencana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Mami Mizutori.