Asal Mula Teknologi Modifikasi Cuaca: Dari Thailand ke Tangan Habibie

ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/nym.
Prajurit TNI Angkatan Udara mempersiapkan garam untuk Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di Lanud Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (24/2/2023).
Penulis: Lavinda
27/4/2023, 14.35 WIB

Pemerintah menyiapkan teknologi modifikasi cuaca untuk menghadapi fenomena El Nino atau pemanasan suhu muka laut yang diprediksi berlangsung pada Agustus 2023 mendatang.

Sekretariat Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan fenomena La Nina yang telah terjadi selama tiga tahun berturut-turut dan membawa cuaca lebih basah akhirnya telah berakhir, sebagai gantinya El Nino akan membawa suhu menjadi tinggi sehingga membuat cuaca menjadi lebih kering.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, suhu laut mencapai rekor tertingginya setelah terakhir terjadi pada 2016 lalu. Belum lagi gelombang panas yang mendorong rekor suhu tertinggi di Asia akhir-akhir ini.

Belajar dari pengalaman 2015 lalu, El Nino di Indonesia menyebabkan dampak kekeringan yang luas, serta kebakaran hutan dan lahan di beberapa daerah. Hal ini tentunya berkorelasi pada turunnya produksi pertanian dan pertambangan.

Maka itu, pemerintah mengambil langkah untuk melaksanakan modifikasi cuaca.

Lalu, apa definisi teknologi modifikasi cuaca? Bagaimana asal mulanya hingga akhirnya hadir di Indonesia? 

Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan teknologi modifikasi cuaca merupakan teknologi untuk mengubah kondisi cuaca, termasuk mempercepat turunnya  hujan.

"Misalnya untuk pengisian waduk-waduk atau bendungan-bendungan dan untuk membasahi lahan gambut," tulis Dwikorita melalui pesan singkat kepada Katadata.co.id, Kamis (27/4).

Dikutip dari situs Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), teknologi modifikasi cuaca sebenarnya bukan barang baru bagi Indonesia. Sejak 1977, proyek yang dulu lebih dikenal dengan istilah hujan buatan itu sudah dimulai.

Ide itu muncul, saat Presiden Soeharto melihat pertanian di negara Thailand cukup maju. Setelah diamati, majunya pertanian Thailand disebabkan karena suplai kebutuhan air pertanian dibantu oleh modifikasi cuaca.

Berawal dari itu, Presiden Soeharto mengutus Habibie yang kala itu menjabat Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), untuk mempelajari teknologi modifikasi cuaca. Kemudian, proyek percobaan hujan buatan dimulai pada 1977, masih didampingi asistensi dari Thailand.

"Jadi memang awalnya dulu teknologi modifikasi cuaca ini dipelajari di Thailand dan diaplikasikan di Indonesia. Fokusnya untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA (pembangkit listrik tenaga air) atau irigasi," jelas Koordinator Laboratorium Pengelola Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN, Budi Harsoyo, seperti dikutip dari website resmi BRIN, Kamis (27/4).

Habibie yang juga Mantan Menteri Riset dan Teknologi saat itu menempatkan proyek hujan buatan berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA) BPPT.

Pada 1985, pemerintah mendirikan UPT Hujan Buatan berdasarkan SK Menristek/Ka BPPT No 342/KA/BPPT/XII/1985. Lalu tahun 2015, mulai dikenal istilah teknologi modifikasi cuaca sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT No 10 Tahun 2015 yang mengubah nomenklatur UPT Hujan Buatan menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.

"Tahun 2021 setelah terintegrasi ke BRIN, kini pelayanan Teknologi Modifikasi Cuaca berada di Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca di bawah Direktorat Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset dan Kawasan Sains dan Teknologi," ungkap Harsoyo.

Dijelaskan Harsoyo, dalam satu dekade terakhir, frekuensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat, baik kebakaran hutan dan lahan, longsor, dan banjir. Mengamati hal itu, pengaplikasian teknologi modifikasi cuaca berkembang untuk memitigasi bencana.

"Saat ini teknologi modifikasi cuaca paling banyak dan rutin digunakan untuk kebutuhan kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun dilakukan. Bahkan Thailand yang dulu kita pelajari, sekarang justru belajar operasinya dari Indonesia terutama untuk kebutuhan mitigasi bencana," ujar Budi Harsoyo.

Tren permintaan teknologi modifikasi cuaca kemudian meluas sesuai kebutuhan, seperti penanggulangan kebakaran hutan dan pembasahan lahan gambut, penangulangan banjir dan pengurangan curah hujan ekstrem, hingga pengamanan infrastruktur dan acara besar kenegaraan.

Pertama kali, operasi teknologi modifikasi cuaca yang bertujuan untuk mengurangi curah hujan diaplikasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan SEA Games XXVI Palembang 2011. Kemudian dilakukan untuk penanggulangan banjir Jakarta pada 2013, 2014, dan 2020, Moto GP Mandalika 2022, hingga yang terakhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada 2022.