Cara Kerja Modifikasi Cuaca, Teknologi Hadapi El Nino pada Agustus

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/nym
Petugas memindahkan karung yang berisi garam ke dalam pesawat Cassa C-212 milik Skadron IV Lanud Abdulrachman Saleh di Pangkalan Udara Sri Mulyono Herlambang (Lanud SMH) Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (10/6/2022).
Penulis: Lavinda
30/4/2023, 13.00 WIB

Fenomena El Nino atau pemanasan suhu muka laut diprediksi berlangsung pada Agustus mendatang. Untuk mengantisipasi berbagai risiko, pemerintah menyiapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai senjata untuk menghadapi fenomena tersebut.

Teknologi modifikasi cuaca merupakan teknologi untuk mengubah kondisi cuaca, termasuk mempercepat turunnya hujan. Misalnya untuk pengisian waduk-waduk atau bendungan-bendungan dan untuk membasahi lahan gambut.

Dikutip dari situs Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), teknologi modifikasi cuaca sebenarnya bukan barang baru bagi Indonesia. Sejak 1977, proyek yang dulu lebih dikenal dengan istilah hujan buatan itu sudah dimulai.

Ide itu muncul, saat Presiden Soeharto melihat pertanian di negara Thailand cukup maju. Setelah diamati, majunya pertanian Thailand disebabkan karena suplai kebutuhan air pertanian dibantu oleh modifikasi cuaca.

Berawal dari itu, Presiden Soeharto mengutus Habibie yang kala itu menjabat Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), untuk mempelajari teknologi modifikasi cuaca. Kemudian, proyek percobaan hujan buatan dimulai pada 1977, masih didampingi asistensi dari Thailand.

Lalu, bagaimana cara kerja teknologi modifikasi cuaca? 

Pada dasarnya, operasi teknologi modifikasi cuaca dilakukan untuk memprematurkan kejadian hujan yang seharusnya turun secara alami di daerah target.

Potensi awan hujan dijatuhkan di luar target, sehingga dapat mengurangi intensitas hujan di daerah target.

Hal itu dilakukan dengan memicu potensi awan hujan yang ada di atmosfer dengan menebar garam ke dalam awan hujan, sehingga bisa turun jatuh menjadi hujan di tempat tertentu yang diinginkan sesuai kebutuhan dan tujuan.

Saat melakukan operasi teknologi modifikasi cuaca, BRIN bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dan TNI AU.

Dalam hal ini, BMKG berperan utama dalam memasok data dan informasi cuaca, awan dan arah angin. Sedangkan TNI AU menyediakan armada pesawat, khususnya untuk operasi modifikasi cuaca yang bertujuan dalam mitigasi bencana.

Biasanya radar cuaca BMKG menginformasikan keberadaan awan target dan arah kekuatan angin ke pilot. Kemudian pesawat Casa yang membawa muatan garam (NaCl) akan menyemai awan hujan target, dimana posisi pesawat selalu berada di antara arah angin dan awan hujan target.

Hujan sebisa mungkin diturunkan sebelum awan tiba di daerah target, sehingga intensitas hujan di daerah target berkurang.

Untuk operasi modifikasi cuaca dalam penanggulangan bencana seperti sekarang ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bisa membiayai dengan anggaran siap pakai kebencanaan. Syaratnya, wilayah provinsi terdampak wilayah provinsi terdampak sudah mengeluarkan status siaga darurat bencana.

Sedangkan untuk operasi modifikasi cuaca untuk kasus kebakaran hutan dan lahan, biaya operasional dibiayai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan dana CSR perusahaan.

Teknologi modifikasi cuaca sebenarnya sudah mulai dikembangkan dengan metode penyemaian dari darat melalui menara Ground Based Generator (GBG). Tetapi sejauh ini baru bisa diimplementasikan untuk pengisian waduk. Pasalnya, menara ditempatkan di daerah topografi tinggi dan menggunakan bahan semai dalam bentuk flare yang dibakar dengan berisi garam KCL yang berfungsi untuk menambah inti kondensasi jika dimasukan ke dalam awan.