Sebuah riset yang dirilis Fortinet mengungkapkan serangan siber ransomware di seluruh wilayah Indonesia meningkat dua kali lipat sepanjang 2023. Melalui sebuah survei, Fortinet mengungkap sebanyak 62% perusahaan melaporkan peningkatan serangan, setidaknya dua kali lipat pada tahun ini, dibandingkan 2022.
Selain itu, riset ini mengungkapkan terjadi peningkatan serangan berupa phising (pengelabuan) dan pencurian identitas di Indonesia. Kedua jenis kejahatan siber tersebut mendominasi serangan, dengan 50% perusahaan menempatkannya sebagai ancaman utama.
Vice President of Marketing and Communications Fortinet Asia Rashish Pandey mengatakan, melihat situasi ini, solusi operasi keamanan untuk menangkal serangan siber harus dapat menjawab kebutuhan mendesak akan automasi dan memberikan strategi paling komprehensif untuk mendeteksi dan merespons insiden.
Tahun lalu, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyebutkan terdapat 714.170.967 serangan siber di Indonesia pada 2022, dengan angka serangan paling tinggi terjadi pada Januari, yaitu lebih dari 272 serangan. Adapun serangan siber yang mendominasi adalah ransomware atau malware dengan modus meminta tebusan.
Sedangkan serangan peretasan, mulai dari pengubahan konten website hingga pencurian data, tercatat sekitar 30% dari total serangan siber. Sasaran utamanya adalah lembaga swasta, lembaga hukum, dan pemerintah pusat.
Baru-baru ini, aplikasi Jakarta Kini (Jaki) mengalami peretasan usai disinggung oleh calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan dalam debat capres yang berlangsung Selasa (12/12). Saat itu, Anies mengatakan aplikasi Jaki merupakan salah satu programnya untuk meningkatkan pelayanan publik.
Sementara itu, mengutip data Interpol Cyber Assessment Report 2021, ada sekitar 2,7 juta serangan ransomware yang terdeteksi di negara-negara Asia Tenggara periode Januari-September 2020. Dari jumlah itu, Indonesia berada di peringkat teratas dengan 1,3 juta kasus.
Research Vice President, IDC Asia-Pasifik Simon Piff mengatakan, pengamanan infrastruktur IT modern menjadi prioritas bagi berbagai lembaga di Indonesia, dan memerlukan komitmen berkelanjutan terhadap kewaspadaan dan kemampuan beradaptasi di tengah pesatnya perkembangan AI dan teknologi awan.
Menurut Piff, riset yang dilakukan ini mengeksplorasi berbagai aspek, termasuk praktik keamanan umum, frekuensi dan dampak serangan, waktu deteksi dan respons, kelengahan kewaspadaan, status, dan dampak automasi dalam alur kerja Operasi Keamanan (State of SecOps), dan tantangan terkait pengembangan keahlian dalam domain SecOps.