Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika atau BAKTI Kominfo berpikir dua kali dalam menentukan jenis satelit untuk Satria-2. Ini mengingat satelit Low Earth Orbit seperti Starlink milik Elon Musk tengah berkembang.
“Kami sedikit berpikir dua kali apakah ini (Satria-2) akan menjadi Geostationary Earth Orbit lagi atau bakal menjadi konstelasi Low Earth Orbit,” kata Kepala Divisi Infrastruktur Satelit BAKTI Kominfo Sri Sanggrama Aradea usai acara Indotelko Forum: Menatap Masa Depan Bisnis Satelit GEO di Industri Telekomunikasi Indonesia, di Jakarta, Selasa (30/1).
Pertimbangan menggunakan Geostationary Earth Orbit atau GEO yakni, pemerintah sudah pasti akan memegang semua jaringan satelit itu. Sebab, Kominfo sudah memiliki satelit Satria-1.
BAKTI Kominfo meluncurkan satelit Satria-1 dengan orbit GEO pada Juni 2023.
Jarak satelit GEO sekitar 36.000 kilometer dari bumi, sehingga persiapannya lebih panjang.
Meski begitu, pemeliharaan perangkat satelit GEO lebih mudah karena posisi orbit dan perangkatnya konsisten. Perangkat yang perlu dikelola juga sedikit, sehingga keamanan lebih terjaga.
Di satu sisi, bisnis satelit Low Earth Orbit atau LEO seperti Starlink sedang berkembang. Namun ada tantangan berupa pemerintah tidak bisa mengontrol semua jaringan dan terkait data.
“LEO itu global market. Artinya, kami tidak bisa mengontrol itu semua karena terkait data. Ada intersatelit dan berpotensi ada pertukaran data antar-satelit,” kata dia. “Datanya kemana tidak ada yang tahu.”
Satelit LEO juga membutuhkan lebih dari satu perangkat bahkan puluhan untuk menyediakan jaringan telekomunikasi, sehingga rentan dari sisi keamanan.
Namun satelit LEO berjarak sekitar 500 – 1.200 kilometer dari bumi. Transmisi data lebih rendah, sehingga kecepatan jaringan telekomunikasi lebih baik.
Sementara itu, Dosen Institut Teknologi Bandung atau ITB Kelompok Keahlian Telekomunikasi M Ridwan Effendy menyampaikan dua rekomendasi terkait dengan industri satelit agar kedaulatan Indonesia tetap bisa terjaga.
Pertama, bisa memberikan peluang bagi swasta maupun BUMN untuk dapat menyediakan komunikasi lewat satelit GEO. Caranya, dengan memberikan insentif pemerintah yang disediakan lewat USO atau APBN.
Pemanfaatan satelit GEO dinilai penting mengingat penyediaan orbit membutuhkan proses hingga tingkat global melalui serangkaian koordinasi dengan Persatuan Telekomunikasi Internasional alias ITU.
Supaya dapat merawat kedaulatan negara di angkasa sekaligus menghadirkan layanan telekomunikasi bagi masyarakat, menurut dia perlu ada pemberian insentif bagi pelaku industri satelit lokal.
Kedua, menyiapkan regulasi yang kuat terkait kendali apabila penyedia layanan dari pihak asing ingin berbisnis di Indonesia. Ridwan mencatat ada cukup banyak satelit milik asing namun berada di atas angkasa Indonesia, karena slot orbitnya telah ditentukan oleh ITU.
“Indonesia harus memastikan NMS atau Network Management System terhubung dengan gateway yang ada dalam yurisdiksi Indonesia. Kalau tidak, ya tidak bisa mengatur keamanan dan keselamatan negara," ujar Ridwan.