Silent majority menjadi topik yang dibicarakan setelah hasil hitung cepat atau quick count lembaga survei dan real count sementara KPU menunjukkan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka unggul. Apa itu silent majority?
Kata ‘silent’ sudah digunakan 180 ribu kali di X atau Twitter per Jumat (16/2) pukul 15.58 WIB. Banyak warganet yang mengartikan silent majority versi mereka. Begitu juga di TikTok dan Instagram.
Ridwan Kamil salah satu yang mengunggah tentang silent majority. “Silent majority sudah berbicara,” kata mantan gubernur Jawa Barat ini melalui akun Instagram.
Apa itu silent majority? Mengutip dari European Center for Populism Studies, silent majority merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Presiden Amerika Serikat Richard Nixon dalam pidatonya di televisi pada 3 November 1969.
“Dan malam ini, kepada Anda, silent majority dari rekan-rekan Amerika saya, saya meminta Anda mendukung,” kata Richard Nixon saat itu.
Istilah silent majority tersebut mengacu pada orang-orang Amerika yang tidak ikut serta dalam demonstrasi besar-besaran menentang Perang Vietnam saat itu, tidak ikut dalam counterculture, dan tidak ikut serta dalam wacana publik.
Nixon menggunakan istilah silent majority untuk menggambarkan sekelompok besar orang yang tidak dapat diidentifikasi di suatu negara atau yang tidak mengungkapkan pendapatnya secara terbuka.
Namun, elemen kolektif identitas nasional menjadi bagian penting dari definisi individu tentang diri dan cara mereka memandang dunia dan tempat mereka tinggal.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan dukungan masyarakat terhadap populisme otoriter, perlu memahami hakikat kepentingan pribadi dalam silent majority.
Menurut Peneliti Senior RURALIS atau The Institute for Rural and Regional Research Natalia Mamonova, para pendukung populisme otoriter umumnya dianalisis sebagai kelompok yang homogen, tidak ada upaya untuk membedakan motif dan kepentingan yang berbeda di dalamnya.
Jadi, ketika berbicara tentang pendukung populisme otoriter, para sarjana sering menggunakan konsep agregat seperti 'rakyat biasa' , 'silent majority', 'massa', 'kerumunan' yang menekankan homogenitas anggota.
Dengan mengadopsi wacana populis tentang masyarakat homogen yang mempunyai kepentingan sama, para ahli cenderung mengabaikan kepentingan yang berbeda dalam kelompok silent majority.
“Berbicara atas nama silent majority merupakan hal yang populer di kalangan populis. Meskipun validasi atas keinginan rakyat, apapun hasil pemilu, merupakan ilusi metapolitik,” kata Project Director New Forms of Participation Hannu-Pekka Ikäheimo.
“Kesadaran akan hal ini membantu kita memahami tentang mengapa kaum populis sering menyebut hasil akhir pemilu tidak bermoral setelah kalah, dan menolak oposisi setelah menang,” kata Hannu.