Undang-Undang atau UU yang memaksa TikTok dijual di Amerika dinilai akan menjadi perang baru AS – Cina. Penjualan bisnis ini dinilai terkait dengan martabat kedua negara.
“Martabat Nasional dipertaruhkan dan dapat diutamakan daripada kepentingan finansial investor ByteDance, termasuk investor global yang memiliki 60% saham,” kata Direktur Pelaksana Teneo Gabriel Wildau, perusahaan konsultan yang berkantor pusat di New York, dikutip dari AP, Kamis (25/4).
Amerika telah memaksa sejumlah perusahaan Cina lainnya untuk melakukan divestasi. Perusahaan video gim Tiongkok Beijing Kunlun misalnya, setuju untuk menjual aplikasi kencan gay Grindr pada 2020.
Kemudian Huawei, yang diblokir oleh Amerika pada 2019. Kini, AS meminta ByteDance Cina menjual operasional TikTok di AS kepada perusahaan Negeri Paman Sam.
Menurut Wildau, keberhasilan TikTok meraup banyak pengguna di sejumlah negara termasuk Amerika, menunjukkan kekuatan teknologi Cina . Ia yakin, Beijing tidak akan mengesampingkan hal ini.
Selain itu, ketika Amerika masif memblokir perusahaan Cina pada 2020, Beijing membalas dengan menerbitkan UU kontrol ekspor. Kebijakan ini dinilai akan mempersulit perusahaan menjual teknologi tertentu.
Banyak ahli percaya bahwa pihak berwenang Tiongkok akan memblokir penjualan teknologi apapun yang mengisi feed TikTok, berdasarkan peraturan ekspor tersebut.
Beijing pun telah mengisyaratkan bahwa TikTok harus melawan UU tersebut. Jika gugatan hukum gagal, para ahli menilai bahwa Beijing kemungkinan besar tidak akan mengizinkan penjualan tersebut.
“Cina mungkin tidak ingin tindakan Amerika terhadap TikTok menjadi preseden buruk,” kata Dosen Senior di Universitas Nasional Singapura sekaligus peneliti di Hinrich Foundation Alex Capri. “Jika Beijing menyerah kepada AS, di mana akhirnya?”
Analis di Eurasia Group Dominic Chiu menilai, Beijing masih mengkaji dampak maupun tindakan lanjutan jika TikTok kalah dalam gugatan. “Presiden Xi Jinping, yang harus menandatangani apakah akan mengizinkan atau melarang penjualan TikTok, mungkin belum membuat keputusan akhir,” kata Chiu.
Direktur Program Tiongkok di Stimson Center yang berbasis di Washington, Sun Yun menilai, jika penjualan benar-benar terjadi, maka prosesnya akan menjadi sangat menantang bagi perusahaan.
Salah satu alasannya yakni harga bisnis TikTok di AS yang diperkirakan cukup tinggi, sehingga sangat membatasi jumlah investor dan perusahaan yang mampu membeli.
Selain itu, ada ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi dengan algoritme TikTok. Beijing dinilai tidak akan membiarkan ByteDance menjual teknologi algoritme TikTok.
Beberapa analis menilai, pembeli TikTok di Amerika bisa membangun teknologi baru. Namun tidak jelas seperti apa tampilannya, atau seberapa baik konten dapat mereproduksi jenis rekomendasi video yang biasa dilihat oleh pengguna selama ini.
Profesor ilmu informasi di Universitas Colorado Boulder Robin Burke mengatakan, beberapa aspek dari algoritme mungkin dapat direplikasi oleh orang dalam industri. Namun dia juga mencatat bahwa ada beberapa area di mana TikTok tampil lebih unggul dari para pesaing dan duplikasinya mungkin akan menjadi tantangan tersendiri.
“TikTok punya semua pengalaman. Mereka punya semua datanya,” kata Burke. “Saya pikir kecil kemungkinannya perusahaan di AS, jika mereka tidak mewarisi teknologi dari perusahaan induk, akan mampu membangun sesuatu yang setara. Tentu saja tidak dalam waktu dekat.”