TikTok mengajukan gugatan hukum terhadap undang-undang Amerika Serikat yang potensi memblokir aplikasi video tersebut. Dalam gugatannya, TikTok menyebut undang-undang tersebut sebagai gangguan luar biasa terhadap hak-hak kebebasan berbicara perusahaan dan 170 juta penggunanya di AS.

TikTok menyebut pemerintah Amerika hanya mengajukan kekhawatiran spekulatif atas keamanan nasional dan meminta pengadilan untuk menghentikannya.

Presiden Joe Biden menandatangani RUU tersebut menjadi undang-undang bulan lalu. TikTok bisa beroperasi di Amerika dengan syarat perusahaan induknya ByteDance menjual aplikasi tersebut.

Dalam UU tersebut, toko aplikasi seperti App Store dan Play Store dilarang menawarkan TikTok di AS mulai Januari 2025. Selain itu, Presiden Biden dapat memperpanjang tenggat waktu tersebut selama 90 hari, jika pembicaraan mengalami kemajuan.

“(Menjual TikTok) tidak mungkin dilakukan: tidak secara komersial, tidak secara teknologi, dan tidak secara hukum. Dan tentu saja tidak dalam jangka waktu 270 hari yang disyaratkan oleh Undang-Undang,” kata TikTok dalam gugatan, dikutip dari BBC Internasional, Rabu (8/5).

Selain itu, TikTok mengatakan mereka telah menghabiskan lebih dari US$ 2 miliar dalam upaya untuk mengatasi kekhawatiran AS, dengan menciptakan perlindungan data di AS.

Hal ini terjadi setelah perdebatan selama bertahun-tahun di Washington, yang mengklaim bahwa TikTok yang dimiliki ByteDance yang berasal dari Cina, meningkatkan risiko bahwa data pengguna AS dapat jatuh ke tangan pemerintah Cina atau digunakan untuk propaganda.

TikTok pun dengan tegas menyatakan perusahaan tidak bergantung pada pemerintah. Sedangkan ByteDance mengatakan tidak memiliki rencana untuk menjual bisnisnya.

Pemerintah Cina telah mengkritik undang-undang tersebut sebagai intimidasi AS terhadap perusahaan asing. Pemerintah Cina juga menentang penjualan tersebut.

“(Undang-undang tersebut) bukanlah larangan. Ini adalah sebuah divestasi,” kata sekretaris pers Gedung Putih, Karine Jean-Pierre dalam sebuah konferensi pers, Selasa (7/5).

Reporter: Lenny Septiani