Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi atau Kemenko Marves menyebut bahwa Starlink tidak bisa menyaingi kecepatan internet lokal di Indonesia yang berbasis fiber optik. Kementerian Komunikasi dan Informatika alias Kominfo menjelaskan alasannya.
Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi menyampaikan, para penyedia layanan internet atau Internet Service Provider (ISP) menawarkan kecepatan internet berbeda tergantung pada daya beli masyarakat.
“Sebagai contoh, untuk layanan internet kecepatan 100 Mbps atau mega bit per detik, tarif yang ditawarkan berkisar Rp 399 ribu – Rp 954 ribu. Harganya biasanya Rp 3.990 – Rp 12.720 per Mbps,” kata Budi kepada Katadata.co.id melalui pesan WhatsApp, Sabtu (8/6).
Ia menyampaikan, Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga penyelenggaraan internet fixed broadband melihat faktor demografis, profil daerah, seperti jumlah penduduk, Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB, dan ketersediaan infrastruktur.
Fixed broadband adalah layanan internet yang diberikan melalui saluran tetap atau kabel.
Berdasarkan data deskriptif, jumlah penyelenggara layanan fixed broadband lebih banyak berada pada wilayah dengan PDRB tinggi. Semakin kecil PDRB suatu wilayah, maka akan berpengaruh terhadap kemampuan daya beli masyarakat, termasuk daya internet.
Budi mencontohkan, layanan fixed broadband dengan kecepatan 20 Mbps - 30 Mbps dibanderol Rp 330 ribu – Rp 499 ribu di daerah dengan PDRB tinggi. Biaya berlangganan fixed broadband di provinsi ini berkisar 8,17% - 26,05% dari pengeluaran rumah tangga bukan makanan per bulan.
Oleh karena itu, para operator seluler memberikan pilihan kecepatan internet yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kecepatan internet di Indonesia saat ini bisa lebih kencang sepanjang kemampuan masyarakat untuk membeli juga tinggi.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenkomarves Septian Hario Seto mengatakan, secara teoritis, internet yang ditawarkan oleh para operator seluler lokal berbasis fiber optik tidak mungkin kalah dengan Starlink.
“Operator seluler di kota-kota besar yang padat penduduk, saya kira Starlink tidak bisa berkompetisi dengan mereka,” ujar Septian dalam wawancara bersama CNBC TV, pekan lalu (4/6).
Menurut dia, Starlink menjadi pelengkap untuk menyediakan internet bagi masyarakat maupun perusahaan tambang di daerah tertinggal, terdepan, terluar alias 3T. “Nanti pasti ada evaluasi. Kalau ditemukan Starlink ternyata melanggar aturan, pasti kami memberi tahu mereka,” kata dia.