Starlink Berpotensi Picu Perang Harga, Berpengaruh ke Tarif Internet?

Starlink, Telkom University
Starlink
12/6/2024, 19.19 WIB

Pengusaha menilai kehadiran internet cepat berbasis satelit milik Elon Musk yakni Starlink berpotensi memicu persaingan harga di industri telekomunikasi di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) Indonesia Jerry Mangasas Swandy mengatakan, perkembangan teknologi, termasuk layanan internet Starlink berpotensi mendisrupsi pasar atau melakukan perubahan-perubahan.

Starlink memang dikabarkan akan menghadirkan layanan direct to cell atau layanan yang menyediakan jaringan secara langsung buat perangkat seluler pada September nanti.

“Bila dia direct to cell langsung, itu mungkin akan merusak ekosistem yang ada, termasuk pricing (tarif), segmen pasar, dan seterusnya,” kata Jerry kepada Katadata.co.id, usai acara Selular Business Forum : Mengukur Dampak Kehadiran Starlink Terhadap Industri Telekomunikasi Dan Daya Beli Masyarakat, di Jakarta, Rabu (12/6).

Ia berharap agar Starlink dapat melengkapi layanan internet di Indonesia dengan menjangkau wilayah tertinggal, terdepan, terluar (3T). Sebab, teknologi fiber optik yang ditawarkan para pelaku usaha telekomunikasi lokal, akan sulit untuk menjangkau 3T. 

“Jadi ada teknologi khusus yang harus berdampingan, mungkin harus pake ground station-nya ke fiber optik, supaya bisa lebih cepat,” kata dia.

Jerry menyampaikan, Apjatel mendorong untuk membentuk roadmap atau peta jalan terkait kehadiran Starlink agar dapat saling melengkapi layanan internet di Indonesia.

Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Gopprera Panggabean mengatakan, industri dengan produk akhir jasa internet merupakan industri yang masif teknologi dan inovasi.

“KPPU masih melakukan kajian untuk menyimpulkan apakah terdapat kesenjangan kesempatan bersaing di Indonesia,” katanya.  Gopprera menyampaikan bahwa dalam dua minggu ke depan KPPU akan kembali melakukan forum diskusi dengan para stakeholder terkait.

Ia menegaskan bahwa hingga saat ini, KPPU belum pada posisi untuk beropini apakah Starlink melakukan pelanggaran atas UU No 5/1999. Namun, dari berbagai diskusi yang dilakukan, terdapat informasi mengenai potensi dampak negatif terhadap pasar eksisting sebagai berikut:

1.Penguasaan kapasitas (pasar) sambungan satelit (Pasal 19, UU No 5/1999)

2.Bundling / Tying Jasa Internet dengan Teleponi dan Multimedia (Pasal 15, UU No 5/1999)

3.Perilaku menyingkirkan pesaing dari pasar dalam bentuk foreclosure / predatory (Pasal 19 dan 20, UU No 5/1999)

Pangsa Pasar Kecil

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyampaikan bahwa pangsa pasar pengguna Starlink di berbagai negara tidak mencapai angka 1%.

 Dengan kondisi seperti itu, apakah Indonesia sebenarnya membutuhkan Starlink?

Jerry mengatakan perkembangan teknologi merupakan sebuah keniscayaan. Menurutnya, internet satelit dapat mengisi daerah-daerah yang belum terkoneksi tersebut, atau wilayah tertinggal, terdepan, terluar (3T).

“Kalau dari pengamatan kami, ada sekitar 15% wilayah Indonesia yang belum terkoneksi secara seluler,” katanya.

Jerry mengakui, jika menggunakan pola lama, maka butuh ongkos besar untuk menjangkau internet ke tiap daerah. "Jadi butuh kecepatan juga untuk sampai ke daerah-daerah 3T,” ia menambahkan.

Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga memiliki satelit dan tower Base Transceiver Station (BTS) 4G yang menjangkau wilayah 3T.

Reporter: Lenny Septiani