Kominfo atau Kementerian Komunikasi dan Informatika meminta tambahan anggaran Rp 12,3 triliun menjadi Rp 20,11 triliun pada 2025, salah satunya untuk membangun menara pemancar sinyal alias Base Transceiver Station (BTS). Akan tetapi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa infrastruktur ini bisa digantikan oleh satelit Starlink.
Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi menyampaikan bahwa kebutuhan anggaran tahun depan Rp 20,11 triliun, sedangkan alokasi dari Kemenkeu alias Kementerian Keuangan hanya Rp 7,72 triliun.
“Kami perlu dukungan Komisi I DPR terkait pemenuhan usulan tambahan anggaran Kominfo Rp 12,3 triliun,” kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR dilihat secara virtual, Senin (10/6).
Berikut anggaran Kominfo 2024, alokasi 2025, dan usulan kementerian untuk 2025:
Keseluruhan anggaran:
- 2024: Rp 15.230.689.307
- 2025: Rp 7.718.907.503
- Usulan 2025: Rp 20.109.609.398
Program Penyediaan Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (Bakti dan Ditjen PPI):
- 2024: Rp 10.186.184.046
- 2025: Rp 3.502.876.721
- Usulan 2025: Rp 12.391.050.687
Program Pengelolaan Spektrum Frekuensi, Standar Perangkat dan Layanan Publik (Ditjen SDPPI, PPI dan Aptika):
- 2024: Rp 589.141.317
- 2025: Rp 490.691.237
- Usulan 2025: Rp 574.366.246
Program Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Ditjen Aptika, Ditjen PPI dan BPSDM):
- 2024: Rp 2.101.930.903
- 2025: Rp 1.345.148.622
- Usulan 2025: Rp 4.013.484.022
Program Komunikasi Publik (Ditjen IKP dan Kuasi Publik):
- 2024: Rp 295.455.213
- 2025: Rp 220.879.272
- Usulan 2025: Rp 754.029.248
Program Dukungan Manajemen (Setjen, Itjen, Set Ditjen, Set Badan, Set Itjen):
- 2024: Rp 2.057.977.828
- 2025: Rp 2.159.311.741
- Usulan 2025: Rp 2.376.679.195
Merujuk pada data tersebut, Kominfo mengajukan anggaran Rp 12.391.050.687 untuk membangun infrastruktur digital, termasuk BTS.
Komisi I DPR pun mempertanyakan usulan Kominfo terkait tambahan anggaran tersebut, mengingat sudah ada Starlink. Budi menjelaskan, Starlink menggunakan teknologi satelit LEO atau low earth orbit.
Satelit LEO memiliki keunggulan yakni kecepatan dalam mengirim sinyal, karena jaraknya lebih dekat dengan bumi ketimbang satelit GEO alias Geostationary Earth Orbit. Akan tetapi, satelit GEO unggul dalam hal cakupan.
Sementara itu, teknologi fiber optic lewat menara BTS dibutuhkan dalam hal kecepatan internet mengingat sinyal bergerak melalui serat kaca atau plastik dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.
Sinyal satelit LEO harus bergerak melalui atmosfer bumi ke satelit di orbit rendah dan kembali lagi. Kecepatan cahaya di ruang hampa memang lebih tinggi daripada di serat optik, tetapi jarak yang harus ditempuh oleh sinyal satelit jauh lebih besar.
Latensi serat optik pada menara BTS juga sangat rendah, karena sinyal berjalan langsung dari titik A ke B melalui jalur yang sangat lurus. Sementara itu, pengiriman sinyal lewat satelit LEO harus menempuh jarak 500 – 2.000 kilometer atau km di atas permukaan bumi.
Serat optik pada menara BTS juga tangan terhadap gangguan elektromagnetik dan cuaca, karena sinyal berjalan melalui kabel. Sementara itu, satelit LEO rentan cuaca buruk dan hambatan lainnya di ruang angkasa, seperti badai matahari.
“Satelit LEO, satelit GEO, fiber optik itu konvergensi,” kata Budi saat rapat kerja dengan Komisi I DPR di Jakarta, Senin (10/6).
Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria pun sebelumnya menjelaskan, menara BTS merupakan salah satu jaringan telekomunikasi yang masih dipakai di beberapa tempat. Ia menduga, pernyataan Menko Luhut bahwa menara BTS tidak diperlukan lagi dan bisa digantikan oleh Starlink, merujuk dari sisi teknologi.
Sebelumnya, Luhut menilai bahwa menara BTS tidak diperlukan lagi. "Sekarang tidak perlu ada BTS, sudah ada Starlink," kata dia dalam acara Ngobrol Seru: Ngobrol yang Paten-paten Aja Bareng Menko Marves secara virtual, Selasa (4/6).
Luhut mengatakan, internet Starlink akan membuat layanan kesehatan dan pendidikan menjadi lebih baik. Sebab, jumlah wilayah blank spot atau yang belum terjangkau internet bisa berkurang.
“Kalau jumlah blank spot semakin berkurang, komunikasi bisa lebih bagus lagi di daerah-daerah terpencil, untuk memberikan layanan kesehatan dan pendidikan,” ujar dia.
Menurut dia, biaya yang dibutuhkan pada sektor kesehatan akan jauh lebih murah menggunakan Starlink dibandingkan jasa telekomunikasi lain. "Ke depan, operasi pun bisa jarak jauh misalnya, dari Jakarta,” katanya.