Maraknya Pencatutan Data Pribadi untuk Pemilu hingga Pilkada Jadi Sorotan

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/YU
Sejumlah petugas mengumpulkan kotak suara bekas pemilihan Presiden untuk dimusnahkan di Gudang KPU Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/9/2024).
14/10/2024, 21.54 WIB

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengevaluasi kembali perjalanan kepatuhan terhadap pelindungan data pribadi.  Hal ini dilakukan menjelang berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP),

 Evaluasi ini dengan kembali melihat implementasi kepatuhan pelindungan data pribadi dalam penyelenggaraan Pemilu yang lalu.  Temuan peneliti ELSAM Parasurama Pamungkas, selama Pemilu hingga Pilkada 2024 terdapat banyak kebocoran data hingga pencatutan data pribadi. 

 “KPU harus memastikan data terbaru dan valid, namun dalam praktiknya sering ditemukan masalah data tidak akurat atau dicatut tanpa sepengetahuan pemiliknya,” kata Parasurama di Jakarta Pusat, Senin (14/10). 

 ELSAM mencatat 953 kasus pencatutan identitas selama tahun 2022–2023 yang berkaitan dengan partai politik, terjadi di tingkat nasional dan terutama di 9 kota besar di Indonesia. Kota tersebut yakni Cilacap, Pontianak, Solo, Bandung, Majene, Pariaman, Bontang, Jember, dan Aceh. 

Selain itu ada juga 1.787 kasus pencatutan data pribadi berkenaan dengan Anggota DPD di berbagai kota besar di Indonesia. 

Demikian pada Pilkada 2024, Elsam juga memaparkan temuan pencatutan data pribadi sebanyak lebih dari 900 kasus. Kasus terbanyak terjadi di DK Jakarta soal aduan pencatutan KTP dukungan Dharma Pongrekun.  

 Melalui temuan ini, Elsam menyoroti sejumlah kerugian yang akan diterima masyarakat.  “Kesalahan dalam pengelolaan data pemilih bukan hanya menciptakan masalah administratif, tetapi juga berpotensi merugikan warga,” kata Parasurama. 

Dampaknya, para korban yang dicatut identitasnya masuk ke dalam daftar anggota partai politik tanpa persetujuan. Hal ini dapat menghambat mereka dalam menjalankan hak politik dan aktivitas lainnya.

“Penting untuk menjaga kepercayaan publik dan menjamin bahwa data pemilih tidak disalahgunakan dalam proses yang melibatkan masyarakat,” kata Parasurama. 

Menurutnya hal ini juga mencerminkan kelemahan dalam sistem pengelolaan data yang ada. Parasurama mengatakan kurangnya keamanan dan proses verifikasi yang memadai menyebabkan data tidak akurat.

Ia juga meminta transparansi kebijakan privasi dan peningkatan akurasi data diperhatikan dalam penerapan UU PDP mendatang.  “Perlu adanya penyeimbang dalam right to privacy dan right to information dalam masalah seputar data pribadi kandidat," katanya.

 Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi atau UU PDP bakal berlaku pada 18 Oktober 2024. Kendati demikian, Presiden Joko Widodo tak kunjung membentuk Lembaga Penyelenggara PDP yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini.

Oleh sebab itu, Jokowi diminta membentuk Lembaga Penyelenggara PDP sampai batas waktu pembentukan yakni 17 Oktober 2024. 

“Apabila Presiden tidak dengan segera membentuk Lembaga Penyelenggara PDP sampai batas waktu 17 Oktober 2024, Presiden Jokowi berpotensi melanggar UU PDP,” kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha dalam keterangan tertulis, Rabu (18/9).   


Reporter: Kamila Meilina