Penggunaan Paylater hingga QRIS Meningkat namun Ada Tantangan Keamanan
Penggunaan layanan pembayaran digital baik paylater maupun QRIS meningkat di Indonesia. Seiring dengan peningkatan ini, ada tantangan dari sisi keamanan.
Bank Indonesia atau BI mencatat volume transaksi pembayaran digital melalui QRIS naik 162,77% secara tahunan alias year on year (yoy) per Juli. Peningkatan QRIS sejalan dengan pertumbuhan pembayaran digital yang meningkat di seluruh komponen 45,3% menjadi 4,44 miliar transaksi.
Volume transaksi aplikasi mobile dan internet meningkat masing-masing 26,07% dan 12,68%.
Penyaluran pinjaman produk Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater juga naik menjadi Rp 34,3 triliun per Agustus. Penyaluran lewat bank naik 32,35% menjadi Rp 24,33 triliun dan perusahaan pembiayaan meroket 79,91% menjadi Rp 9,97 triliun.
Ekonom dan Pengamat Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies atau CELIOS Nailul Huda menilai penggunaan layanan pembayaran digital tidak bisa dihindari.
“Ketika ingin topup dompet digital misalnya, akan lebih mudah jika punya rekening bank. Selain itu, banyak produk keuangan digital yang juga terintegrasi dengan layanan perbankan. Jadi memang ada hubungan yang positif,” kata Nailul kepada Katadata.co.id, Senin (13/10).
Kehadiran ekosistem keuangan digital disebut Nailul terbukti mampu meningkatkan indeks inklusi keuangan di berbagai negara karena mempermudah akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal. Sebab, masyarakat bisa menggunakan berbagai layanan teknologi keuangan, seperti dompet digital, yang terintegrasi dengan perbankan dengan mudah.
Data Jadi Tantangan Keamanan Keuangan Digital
Pesatnya perkembangan layanan keuangan digital juga menimbulkan tantangan serius, yakni terkait keamanan data dan transaksi. Maraknya kasus kebocoran data dan penipuan daring dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap sistem keuangan digital.
“Ketika sudah terjadi kebobolan, bisa berdampak jangka panjang. Kepercayaan dari masyarakat bisa turun drastis,” kata Nailul.
Atas berbagai kasus dan kerentanan ini, Nailul mendorong Kementerian Komunikasi dan Digital atau Komdigi untuk mempercepat penyusunan aturan turunan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 20222 tentang Pelindungan Data Pribadi atau UU PDP serta pembentukan badan pengawas data agar masyarakat memiliki landasan hukum kuat untuk menuntut ganti rugi.
“Dengan adanya UU Perlindungan Data Pribadi, seharusnya sudah bisa dikenakan sanksi pidana, terutama jika kerugian nasabah mencapai miliaran rupiah,” kata dia.
Pakar keamanan siber dari Vaksincom Alfons Tanujaya menilai, peretasan menjadi tantangan dari sisi pengguna dalam menjaga identitas dan kredensial digital. Sebab, kejadian tersebut mungkin terjadi karena kelalaian pengguna, misalnya jika data kredensial berhasil dicuri.
“Siapapun yang tahu username dan password akan dianggap sebagai pemilik akun. Itulah ketentuan di dunia digital. Jadi, tanggung jawab perlindungan akses akun ada pada pemilik aset digital itu sendiri,” ujar Alfons kepada Katadata.co.id, pada September (22/9).
Alfons menjelaskan, modus peretasan biasanya meliputi pencurian password lewat aplikasi berbahaya, phishing melalui situs palsu, hingga pencurian kode OTP.
OJK atau Otoritas Jasa Keuangan menekankan pentingnya menjaga tata kelola dan manajemen risiko. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman menegaskan, pelaku industri perlu memperhatikan governance, keamanan data, serta kualitas proses penilaian kredit (credit scoring) agar ekosistem pembiayaan digital tetap terpercaya dan aman.
“OJK mendorong agar transformasi digital di sektor pembiayaan tumbuh secara sehat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen,” kata Agusman dalam keterangan pers, Senin (13/10).
Dengan pengawasan dan kebijakan yang tepat, OJK berharap sektor pembiayaan digital dapat menjadi salah satu pilar penting dalam memperkuat fondasi ekonomi digital Indonesia.