RI Jalankan Tujuh Reformasi Kebijakan Fiskal Mengatasi Perubahan Iklim

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.
Aktivis lingkungan hidup menggelar aksi Joget Jagat dalam rangka memperingati Hari Bumi 2021 di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (22/4/2021). Aksi Joget Jagat tersebut mengangkat tema ÔHari Krisis BumiÕ dan ÔDiam Berarti TenggelamÕ untuk menyerukan kepada seluruh anak muda Indonesia bahwa inisiatif pemerintah dalam menanggulangi krisis iklim terlampau lambat dan acuh.
23/4/2021, 11.39 WIB

Pemerintah melakukan berbagai reformasi untuk mengatasi perubahan iklim, antara lain melalui kebijakan fiskal. Staf Khusus Menteri keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin menyebut, pemerintah tengah mengimplementasikan tujuh kebijakan fiskal terkait isu lingkungan.

Pertama, melalui penghitungan ulang anggaran. "Hitung ulang dengan mengidentifikasi berpa banyak sumber daya yang dialokasikan terkait dengan agenda perubahan iklim," kata Masyita Crystallin dalam akun instagram resminya, Jumat (23/4).

Melalui cara tersebut, dia menilai, kredibilitas dan akuntabilitas untuk menjalankan komitmen seperti Paris Agreement tetap terjaga. Dalam Paris Agreement, Indonesia berkomitmen mengurasi emisi gas rumah kaca secara bertahap. Pada 2030, Indonesia menargetkan pengurangan emisi hingga 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.

Kedua, melalui penerbitan obligasi hijau atau green bond secara domestik maupun global. Masyita menyebutkan, penerbitan tersebut dilakukan untuk diversifikasi instrumen pembiayaan. Mekanisme pengaturan juga dilakukan untuk pengkategorian program hijau ke proyek dan programnya.

Ketiga, instrumen pajak seperti fasilitas pajak, tax holiday, dan tax allowance. "Ini bertujuan merinci insentif sehingga mampu mengeksplorasi lebih banyak energi terbarukan," ujar dia.

Keempat, melalui insentif daerah untuk meningkatkan kepedulian masyarakat agar ikut serta merawat hutan. Dengan demikian, menurut dia, penanganan isu perubahan lingkungan dilakukan secara holistik oleh semua level pemerintahan.

Kelima, reformasi subsidi bahan bakar sejak 2015. Masyita menjelaskan, hal tersebut dilakukan dalam bentuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak dan mengalokasikan kembali untuk kepentingan lain. Pemerintah juga menerapkan kebijakan yang mendukung pendanaan penanggulangan dampak iklim seperti penetapan tarif emisi karbon.

Keenam, mendirikan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang bertujuan untuk menggerakan dan mengelola sumber daya keuangan lingkungan. Ketujuh, melalui target penurunan emisi dalam Nationally Determined Contribution.

Masyita menuturkan bahwa Indonesia telah berhasil mengurangi kebakaran dan deforestasi dalam lima tahun terakhir. "Pemerintah akan terus berupaya mengatasi berbagai isu perubahan iklim  baik dalam negeri mauoun global," katanya.

Lead Researcher Zero Carbon Energy for the Asia-Pacific ANU Grand Challenge Project Paul Burke mengatakan negara-negara dengan penetapan pajak karbon lebih berhasil dalam mengurangi emisi dari waktu ke waktu.

Pertumbuhan emisi dari negara-negara tersebut persentasenya lebih rendah setiap tahunnya dibandingkan dengan yang belum menerapkan pajak karbon. "Jadi, alih-alih emisi tumbuh sebesar 2% per tahun, mereka akan tumbuh sebesar 0%," kata dia dalam acara Katadata Future Energy Tech and Innovation Forum 2021, Senin, (8/3).

Di Australia, misalnya, pajak karbon telah berlaku selama dua tahun. Hasilnya, gas rumah kaca berkurang signifikan, terutama dari sistem kelistrikan. 

Penetapan serupa dapat terjadi di Indonesia dan menjadi salah satu upaya reformasi ekonomi. Selain mengurangi masalah polusi udara, pajak karbon juga dapat menurunkan pemakaian bahan bakar fosil.

Paul berpendapat, skema perdagangan karbon tidak tepat untuk negara ini. Yang lebih sesuai adalah penerapan pajak karbon atau retribusi. 

Singapura menerapkan pajak karbon sebesar SIN$ 5 per ton emisi karbon dioksida atau CO2. Sedangkan, Amerika Serikat sekitar US$ 3,7 per ton emisi karbon dioksida. Pajak tersebut berlaku untuk bahan bakar fosil.

Dalam laporan Climate Change Performance Index (CCPI), Swedia didapuk sebagai negara dengan dengan performa perubahan iklim tertinggi. Sementara itu, Indonesia bertengger di posisi 24 dengan skor performa perubahan iklim sebesar 53,59 poin. Skor tersebut membawa Indonesia dalam kategori sedang.

 

Reporter: Agatha Olivia Victoria