Survei: Perusahaan RI Tertinggi di Dunia dalam Strategi Sustainability

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.
Suasana kawasan Jalan Jenderal Sudirman dengan deretan gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (5/2/2021).
Penulis: Happy Fajrian
28/10/2021, 07.47 WIB

Hasil survei International Business Report (IBR) yang dikeluarkan oleh Grant Thornton International menunjukkan bahwa 6 dari 10 perusahaan skala menengah di Indonesia percaya bahwa sustainability alias keberlanjutan, sama penting atau bahkan lebih penting daripada kesuksesan finansial.

Bahkan hasil survei menyebutkan 68% dari pelaku bisnis Indonesia atau yang tertinggi dari seluruh dunia telah mulai mengembangkan strategi keberlanjutan untuk diterapkan ke dalam bisnis mereka.

Aspek lingkungan, sosial, dan peran pemerintah dipandang sebagai keunggulan kompetitif bagi sebagian perusahaan skala menengah. Sekitar 42% pelaku bisnis menekankan pentingnya sustainability karena strategi ini dianggap mampu untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya.

"Bisnis pasar menengah gesit, mudah beradaptasi, dan banyak yang ingin tetap terdepan, sehingga keberlanjutan masuk akal bagi mereka," kata Global Services Lines and Capability, Grant Thornton International, Trent Gazzaway melalui keterangan tertulis, dikutip Kamis (28/10).

Laporan ini juga menyebutkan 79% pelaku bisnis skala menengah di Indonesia percaya bahwa keberlanjutan sama pentingnya dengan keberhasilan secara finansial. Bahkan 63% dari mereka berpendapat bahwa sustainability semakin penting sejak pandemi.

Lebih dari setengah (51%) pelaku bisnis skala menengah di Indonesia juga berpendapat bahwa dengan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam aktivitas perusahaan, mereka dapat meningkatkan efisiensi operasional dan menurunkan biaya.

Sedangkan 47% dari mereka berpendapat bahwa keberlanjutan dapat meningkatkan akses permodalan dan investasi bisnis mereka.

Walaupun para pelaku bisnis sudah mulai menerapkan prinsip sustainability ke dalam bisnis mereka, namun, tantangan utama bagi banyak pelaku bisnis ini terletak pada pemahaman apa yang harus diprioritaskan agar dapat maksimal dalam perpindahan ke praktik bisnis yang lebih berkelanjutan.

Terutama ketika sumber daya yang terbatas menipis karena pandemi. Di Indonesia sendiri, 46% pelaku bisnis merasa kurangnya kejelasan seputar kebijakan yang baru merupakan hambatan dalam menerapkan prinsip sustainability ke dalam bisnis mereka.

"Namun untuk melaporkan aspek-aspek tertentu dari keberlanjutan seperti pengurangan karbon, keragaman dan inklusi, model bisnis mereka dan kepatuhan terhadap persyaratan peraturan, banyak yang merasa sulit untuk memahami apa yang harus diprioritaskan," lanjut Gazzaway.

Tiga kendala teratas untuk menerapkan keberlanjutan dalam bisnis usaha menengah di Indonesia berdasarkan data IBR terbaru adalah:

  1. Kurangnya kejelasan seputar kebijakan/peraturan baru (46%)
  2. Perusahaan sibuk menangani masalah terkait pandemi (40%)
  3. Keengganan pimpinan perusahaan untuk menerapkan keberlanjutan (34%)

Saran dari pakar akan sangat membantu ketika menavigasi berbagai kerangka pelaporan untuk menerapkan prinsip keberlanjutan ini. Sementara kemampuan alami dari para pelaku bisnis pasar menengah untuk beradaptasi sudah membantu dalam menuju prinsip berkelanjutan ini.

Ada baiknya apabila pemerintah, regulator, dan pembuat standar mempunyai peran yang jelas untuk memberikan dukungan dan menetapkan aturan yang jelas dalam hal pembuatan laporan tentang sustainability atau keberlanjutan.

Perjalanan menuju masa depan bisnis yang menerapkan prinsip berkelanjutan bukan hanya tentang pelaporan semata. Meskipun pelaporan penting bagi proses menuju sustainability, namun penting juga bagi para pelaku bisnis untuk menciptakan visi, tujuan, dan rencana jangka panjang yang akan membantu mereka melalui transisi ini.

"Kesediaan untuk mengambil pendekatan jangka panjang, bahkan dalam menghadapi kesulitan jangka pendek, adalah pilar utama keberlanjutan, dan itu akan membantu perjalanan bisnis dengan baik di masa depan," kata Gazzaway.