Perdagangan Karbon PLTU Dimulai, Potensi Transaksi Emisi 500 Ribu Ton
Kementerian ESDM resmi meluncurkan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik mulai hari ini, Rabu (22/2). Mekanisme ini akan dijalankan oleh 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang dimiliki oleh 42 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Pelaksanaan perdagangan karbon itu diatur melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik yang ditetapkan oleh Menteri ESDM pada akhir Desember 2022.
Pelaksanaan perdagangan karbon tahun ini wajib berlaku untuk PLTU batu bara yang tersambung ke jaringan tenaga listrik PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan mekanisme perdagangan karbon pada subsektor tenaga listrik merupakan wujud komitmen dalam mendukung pencapaian Net Zero Emission dan menurunkan emisi gas rumah kaca
Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang telah disusun, pelaksanaan perdagangan karbon berpotensi dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar lebih dari 36 juta ton CO2e di tahun 2030.
"Nilai Ekonomi Karbon ini merupakan mekanisme pasar yang memberikan beban atas emisi yang dihasilkan kepada penghasil emisi, sehingga dapat dikatakan Nilai Ekonomi Karbon dapat memberikan insentif bagi kegiatan yang dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca," kata Arifin saat membuka acara peluncuran Perdagangan Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik di Kementerian ESDM pada Rabu, (22/02).
Menurut Arifin, untuk mencapai target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di sektor energi sesuai dengan dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) diperlukan dukungan dan partisipasi dari pembangkit yang memanfaatkan energi baru terbarukan dan pelaku usaha lainnya yang melakukan aksi mitigasi di sektor energi.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jisman Hutajulu, mengatakan sejauh ini ada potensi 500 ribu ton CO2e yang bisa diperdagangkan. Hitung-hitungan itu berangkat dari adanya selisih batas keluaran emisi dari 99 PLTU yang ikut dalam perdagangan karbon.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikkan, terdapat kuota 10,2 juta ton emisi dari gabungan beberapa PLTU yang berada di bawah ketentuan emisi yang boleh dikeluarkan secara tahunan. Sementara di sisi lain, ada 9,7 juta ton emisi dari sejumlah PLTU yang melebihi ketentuan batas atas emisi yang ditetapkan.
PLTU yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca melebihi batas atas wajib membeli sisa kuota keluaran emisi dari PLTU lain yang keluaran emisi tahunannya berada di bawah batas atas. "Untuk yang diperdagangkan itu yang surplus, sekitar 500 ribu ton CO2e," kata Jisman saat ditemui usai acara.
Lebih lanjut, kisaran harga karbon yang dipedagangkan ditentukan lewat mekanisme harga pasar sekira US$ 2 hingga US$ 18 per ton CO2e. "Kalau sekarang ditentukan dari harga pasar. Kalau sudah mulai jalan, bisa dievaluasi lagi, kalau perdagangan internasional bisa US$ 2 sampai US$ 99 per ton CO2e," ujar Jisman