Indonesia Targetkan Jadi Pusat Teknologi Penyimpanan Karbon di ASEAN

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Pemerintah akan mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon di luar sektor migas dan menjadikan Indonesia yang terdepan dalam teknologi ini di Asia Tenggara.
Penulis: Nadya Zahira
11/9/2023, 18.24 WIB

Kementerian ESDM mengatakan bahwa pemerintah menargetkan Indonesia menjadi pusat teknologi penyimpanan karbon di Asia Tenggara. Hal tersebut tercermin dari rencana Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang ingin memperluas pengembangan teknologi penyimpanan di luar sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).

Untuk itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, pemerintah sedang menyiapkan peraturan presiden (Perpres) guna memperluas penerapan teknologi Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS).

"Jadi saat ini kami sedang menyusun Perpresnya tentang CCS di luar kegiatan hulu migas untuk mendukung pengurangan emisi dari industri lainnya," ujar Tutuka dalam acara International & Indonesia Carbon Capture Storage (IICCS) Forum 2023, Jakarta, Senin (11/9).

Adapun Perpres CCS tersebut disiapkan oleh Kementerian ESDM yang bekerja sama dengan kementerian terkait di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi atau Kemenko Marves. "Peraturan ini juga kami harapkan, dapat menjadikan Indonesia sebagai pusat CCS di kawasan Asia Tenggara," kata dia.

Tutuka menyebutkan, berdasarkan grafik sementara dari penelitian, potensi penyimpanan di sektor minyak dan gas sekitar 4,31 gigaton CO2. Potensi kapasitas penyimpanan yang sangat besar itu dapat digunakan lebih cepat untuk mendukung pengurangan emisi.

Belajar Teknologi CCS dari AS hingga Australia

Tutuka mengatakan, Indonesia saat ini tengah berkaca dan belajar dari Amerika Serikat (AS), Inggris, hingga Australia untuk memperbaiki regulasi penerapan CCS di Indonesia. Pasalnya, negara-negara tersebut memiliki kebijakan CCS yang sangat baik.

Tak hanya itu, menurut dia, negara-negara tersebut juga memberikan insentif yang lebih tinggi untuk investasi dari sektor swasta sehingga kegiatan CCS lebih maju dan mapan, "Ini dapat menjadi pembelajaran untuk memperkaya perbaikan regulasi CCS di Indonesia," kata Tutuka.

Tutuka menilai, dalam mengembangkan kebijakan dan membuat peraturan mengenai CCS, pemerintah menghadapi sejumlah tantangan yang tidak mudah.

Dengan begitu, perlu belajar dari pihak lain yang memiliki pengetahuan komprehensif terkait penerapan CCS. "Kami percaya bahwa kemitraan dan kerja sama internasional itu sangat penting dan harus dijalankan," ujar Tutuka.

Dia mengatakan, bahwa hingga saat ini terdapat 15 proyek kajian CCS/CCUS di sektor migas yang sedang dalam tahap studi percontohan, dan salah satunya sedang dalam tahap uji coba, yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua.

Sebagian besar proyek tersebut ditargetkan onstream sebelum 2030, di mana total potensi injeksi CO2 antara tahun 2030 hingga 2035 berkisar 25 hingga 68 juta ton, "Proyek-proyek ini membutuhkan kemajuan teknologi dan kolaborasi keuangan," kata dia.

Dua teknologi ini dinilai menjadi faktor penting pada industri sektor hulu migas. Penerapan teknologi CCS maupun CCUS juga dinilai penting karena industri di Indonesia saat ini tengah memasuki masa adaptasi menyambut transisi energi.

Pemerintah sejatinya telah merilis aturan CCUS lewat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaran Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Pada Pasal 6, pemerintah mengizinkan penangkapan emisi karbon dalam penyelenggaraan CCUS dapat berasal dari industri di luar kegiatan usaha hulu migas.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan bahwa implementasi CCS maupun CCUS di sektor kegiatan hulu migas merupakan hal krusial untuk menekan emisi karbon dalam rangka mengejar target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.

Reporter: Nadya Zahira