Pemerintah tengah mengebut payung hukum tentang kebijakan perdagangan karbon luar negeri. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Ad Interim, Erick Thohir, mengatakan aturan tersebut ditargetkan rampung sebelum Konferensi Tingkat Tinggi Iklik PBB atau COP28 di UAE pada 30 November 2023.
"Oleh karenanya, sangat diharapkan dukungan yang kuat dari K/L terkait terutama KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Sekretariat Negara terkait penyelesaian pengaturan dan payung hukum kebijakan perdagangan karbon luar negeri,” ujar Erick saat memimpin rapat koordinasi di Jakarta, Senin (31/10).
Dia mengatakan, Kemenko Marves serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang mengkoordinasikan penyelesaian payung hukum kebijakan tentang Perdagangan Karbon Luar Negeri. Langkah ini penting agar segera diadakan Rapat Komite Pengarah untuk Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Sebelumnya, KLHK sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Selain itu, terdapat pula Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Mencapai Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/ NDC).
Sekretaris Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Drasospolino, mengatakan Indonesia telah menyampaikan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan kemampuan sendiri sebesar 29% dan dengan dukungan internasional sebesar 41%.
"Kemudian pada 23 September 2022, Indonesia telah menyampaikan peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced NDC dengan kemampuan sendiri 31,89% dan dengan dukungan internasional sebesar 43,20%," ujarnya dikutip dari situs KLHK, SElasa (31/10).
Dia mengatakan, pendekatan yang dapat digunakan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim yaitu melalui implementasi kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Salah satunya adalah mekanisme penurunan emisi dengan skema perdagangan karbon.
Terdapat diua mekanisme perdagangan karbon, yaitu:
1. Perdagangan emisi atau yang biasa disebut juga sebagai sistem cap and trade
Para pelaku usaha wajib mengurangi emisi GRK dengan ditetapkannya Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) atau emission cap. Setiap pelaku usaha akan diberikan alokasi sejumlah emisi GRK sesuai batas atas emisi yang dapat dilepaskan/dikeluarkan (cap).
Pada akhir periode, pelaku usaha tersebut harus melaporkan jumlah emisi GRK Aktual yang telah mereka lepaskan. Pelaku Usaha yang melepaskan emisi GRK yang lebih besar dari batas atas yang telah ditentukan baginya (defisit) maka harus membeli surplus emisi GRK dari pelaku usaha lain.
2. Offset emisi (offset karbon)
Offset emisi yang diperjualbelikan adalah unit karbon yang dihasilkan dari penurunan emisi setelah target NDC untuk sub-sub sektor telah tercapai dan terdapat surplus penurunan emisi.
Penurunan emisi GRK ini diperoleh melalui pelaksanaan kegiatan atau aksi mitigasi pengendalian perubahan iklim. Oleh karena itu, pelaku usaha harus bisa membuktikan praktik atau teknologi yang digunakan sebelum aksi mitigasi melalui proses yang biasa disebut MRV (Monitoring, Reporting and Verification). Teknologi tersebut meliputi penyerapan atau penyimpanan.
Bentuk-bentuk aksi mitigasi yang dapat menurunkan emisi GRK melalui penyerapan dan penyimpanan karbon, diatur dalam Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023. Berdasarkan aturan tersebut, terdapat 22 aksi mitigasi antara lain: Pengurangan laju deforestasi lahan mineral, lahan gambut serta mangrove; Pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral, lahan gambut dan mangrove; Pembangunan hutan tanaman; Pengelolaan hutan lestari (melalui Multi Usaha Kehutanan, Reduce Impact Logging-Carbon dan Silvikultur Intensif), Rehabilitasi hutan dan lainnya.
Potensi Perdagangan Karbon RI Rp 8.000 T
Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan hingga ribuan triliun dari nilai ekonomi karbon. Pendapatan ekonomi karbon diperoleh dari perdagangan karbon hutan tropis, mangrove, dan gambut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, potensi ekonomi karbon RI mencapai US$565,9 miliar atau sekitar Rp8.000 triliun. Menurut dia, sejumlah sektor penyumbang emisi karbon di Indonesia, yakni kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk.