Kementerian Lingkungan Hidup Malaysia menyatakan negara mereka tidak akan melanjutkan usulan terkait rancangan undang-undang untuk mencegah polusi asap lintas batas, lantaran kesulitan dalam memperoleh informasi yang diperlukan untuk tujuan penuntutan.
Melansir dari Reuters, hampir setiap musim kemarau, asap dari kebakaran hutan untuk membuka lahan bagi perkebunan kelapa sawit, pulp, dan kertas di Indonesia menyelimuti sebagian besar wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kesehatan masyarakat Malaysia.
Singapura sebelumnya sudah mengesahkan undang-undang semacam itu pada tahun 2014, yang bertujuan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dan perdata dari mereka yang menyebabkan kabut asap. Namun, Kementerian Lingkungan Hidup Malaysia mengatakan bahwa mereka tidak akan meneruskannya, dengan alasan kesulitan dalam penegakan hukum.
"Untuk memungkinkan penegakan hukum atas pencemaran asap lintas batas, bukti yang jelas bahwa asap lintas batas berasal dari negara tetangga harus didukung oleh data yang memadai seperti peta lokasi, koordinat, informasi pemilik lahan, dan perusahaan yang beroperasi di lokasi kebakaran," ujar Kementerian Lingkungan Hidup Malaysia, dikutip dari Reuters, Selasa (7/11).
Kementerian Lingkungan Hidup Malaysia mengatakan, alasan undang-undang tersebut tidak diteruskan karena hal semacam itu sulit diperoleh lantaran menyangkut masalah kerahasiaan, keamanan, dan kedaulatan negara. Kementerian tersebut mengatakan bahwa pendekatan diplomatik melalui negosiasi merupakan cara yang lebih baik untuk "secara kolektif mengatasi" kabut asap yang melintasi perbatasan.
Indonesia menghadapi kritik rutin dari negara-negara tetangga dan kelompok-kelompok lingkungan hidup karena gagal mengakhiri kebakaran hutan. Kini, pemerintah Indonesia menjanjikan adanya tindakan tegas untuk menghentikan fenomena tersebut. Namun, polusi kembali terjadi hampir setiap musim kemarau.
Bulan lalu, Malaysia kembali meminta Indonesia untuk menghentikan kebakaran dan meminta ASEAN menangani masalah ini. Seperti diketahui, Indonesia dan Malaysia adalah anggota ASEAN.
Kelompok aktivis lingkungan Greenpeace telah mengkampanyekan undang-undang kabut asap lintas batas dengan mengatakan bahwa undang-undang tersebut penting sebagai alat pencegah dan dapat membantu menentukan perusahaan mana yang memulai kebakaran.
"Belajar dari pengalaman Singapura, belum ada yang didenda atau digugat. Namun, ini tidak berarti bahwa undang-undang kabut asap lintas batas tidak efektif. Beberapa perusahaan telah diselidiki di bawah undang-undang tersebut karena keterkaitannya dengan kebakaran hutan," kata Ahli Strategi Kampanye Regional Greenpeace Asia Tenggara, Heng Kiah Chun, dalam sebuah pernyataan.
Malaysia Tuding Indonesia Jadi Penyebab Polusi di Negaranya
Sebelumnya, Malaysia menyinggung kebakaran hutan di Indonesia menjadi penyebab polusi di negaranya. Pemerintah Malaysia tengah mengkaji penerapan Undang-undang (UU) Polusi Asap Lintas Batas, seperti yang digunakan Singapura, untuk mengatasi persoalan kabut asap.
"Karena kami tidak ingin mendalilkan atau sekadar isyarat simbolik belaka," kata Menteri Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Malaysia, Nik Nazmi Nik Ahmad, dalam sidang parlemen di Kuala Lumpur pada Kamis (12/10), seperti dikutip dari Antara.
Nik Nazmi mengatakan telah membaca laporan Lembaga Sains Malaysia dan mendengar pandangan Kejaksaan Agung Malaysia mengenai kajian penerapan UU tersebut. Namun, hal yang terpenting adalah membuat negara anggota ASEAN melihat kelemahan dalam ASEAN Agreement Transboundary Haze Policy (AATHP).
Dia menilai AATHP sebenarnya cukup radikal di mana penerapannya sedikit di luar kerangka intervensi atau kedaulatan mutlak negara-negara anggota ASEAN. Namun demikian, dia melihat tak ada hukuman terhadap perusahaan dan negara yang menyebabkan kabut asap lintas batas.
Padahal, ASEAN telah membahas target untuk bebas kabut asap pada 2030. "Bagaimana target itu bisa tercapai tanpa memperbaiki perjanjian AATHP," kata dia.
Nik Nazmi justru ingin melihat praktik Kanada dan Amerika Serikat pada 1991 ketika kedua negara memiliki komisi dan otoritas serta keterwakilan masing-masing pihak dan keterbukaan, untuk melihat pencemaran udara secara menyeluruh.
"Jika berhadapan dengan satu situasi di mana satu negara tidak mau bekerja sama, atau sulit untuk membuat kerja sama, maka hal ini sulit kita lanjutkan," kata Nik Nazmi.
Dia mengatakan perlu ada perbaikan supaya kabut asap tidak dianggap persoalan normal di Asia Tenggara seperti terjadi dalam 30 tahun belakangan ini.
Kabut asap lintas batas dampak dari kebakaran hutan dan lahan (Kahutla) di Sumatra sempat membuat kualitas udara di Semenanjung Malaysia berada pada kategori tidak sehat dalam beberapa pekan terakhir. Kabut asap tipis itu akan hilang setelah hujan turun.