Pemerintah Tolak Usul DPR Bentuk Badan Pengelola Energi Terbarukan

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.
Menteri ESDM Arifin Tasrif (kedua kanan) mengikuti rapat kerja bersama Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/6/2023). Dalam rapat tersebut Komisi VII DPR menyetujui penambahan pagu indikatif tahun 2024 Kementerian ESDM sebesar Rp4,29 triliun menjadi Rp11,07 triliun.
20/11/2023, 16.18 WIB

Pemerintah menolak usul Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Badan Khusus untuk mengelola energi terbarukan, serta Badan Pengelola dan Peruntukkan Dana EBT. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, menilai bahwa pembentukan badan baru tidak sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo soal perampingan birokrasi.

"Pemerintah mengusulkan untuk tidak mengatur amanat pembentukan badan khusus pengelola Energi terbarukan yang baru di dalam RUU EBET," kata Arifin saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI dan sejumlah instansi lainnya di Jakarta, Senin (20/11). 

Arifin mengatakan, Presiden RI sebelumnya telah mengarahkan untuk melaksanakan penyederhanaan birokrasi dan penataan kelembagaan. Sebelumnya juga sudah ada regulasi eksisting yang telah mengatur kewenangan pelaksanaan kebijakan energi baru dan energi terbarukan oleh Kementerian ESDM. 

"Untuk pengelolaan dana khusus untuk yang bersumber dari energi terbarukan, saat ini sudah dibentuk BPDPKS (Badan Pengelolaan Dana Kelapa Sawit) dan BPDLH (Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup)," kata Arifin. 

Sementara itu Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, mengatakan DPR mengusulkan pembentukan Badan Khusus Pengelola Energi Terbarukan. Hal itu diajukan dalam Forum Panja DPR tanggal 7-8 November 2023.

Namun, Sugeng mengatakan, hal itu memerlukan tanggapan dari pemerintah.  "Terkait pembiayaan EBT, komisi VII beranggapan itu perlu diatur lebih rinci supaya bisa diarahkan ke energi baru terbarukan," ujarnya.

Tambahan DIM Baru

Dalam kesempatan yang sama, pemerintah mengajukan dua substansi baru dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Dua substansi tersebut adalah perdagangan karbon luar negeri dan amonia sebagai sumber energi baru terbarukan.

Sugeng mengatakan, pemerintah mengusulkan pembahasan nilai karbon perdagangan luar negeri bertujuan untuk mencapai Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/ NDC) dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca.

"Ini merupakan bagian dari transisi energi," kata Sugeng.

Sementara itu, terdapat sejumlah DIM yang memerlukan pembahasan lebih lanjut, yaitu:

1. Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk EBET

Sugeng mengatakan, secara substansi hal ini sudah disepakati. Namun, kondisi riil di lapangan ternyata banyak sektor ketenagalistrikan, terutama yang hibah, tidak memenuhi regulasi TKDN yang berlaku.

2. Power Wheeling

Sugeng mengatakan, optimalisasi pemanfaatan EBT untuk memenuhi kebutuhan konsumen atau power wheeling memerlukan penjelasan lebih detail. Hal itu terutama dikaitkan optimalisasi wilayah usaha dalam kebutuhan konsumen, serta dampaknya pada kegiatan usaha PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke depan.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 (RUPTL), pemerintah menargetkan porsi EBT dalam bauran energi nasional bisa mencapai 23% pada 2025. Namun, menurut laporan Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2022 dari Kementerian ESDM, sampai akhir tahun lalu bauran EBT masih jauh dari target, yakni baru 14,11%.

Jika dirunut lebih jauh, dalam enam tahun terakhir bauran EBT juga belum berubah signifikan. Selama periode 2017-2022 angkanya hanya berfluktuasi di kisaran 12% sampai 14%.