Tiga Sumber Emisi Terbesar Kelapa Sawit, Salah Satunya Pembukaan Lahan

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/rwa.
Api membakar lahan perkebunan kelapa sawit di sisi Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) ruas Palembang-Indralaya KM15 Palem Raya, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Jumat (22/9/2023). Berdasarkan data dari satelit NASA-NOAA20 jumlah titik api di wilayah Indonesia sebanyak 3825 titik, sedangkan di Provinsi Sumatera Selatan terdapat 167 titik pada Jumat (22/9).
21/11/2023, 16.37 WIB

Organisasi minyak kelapa sawit, The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), mengungkap tiga sumber emisi paling besar yang dihasilkan oleh sawit. Tiga sumber emisi tersebut adalah pembukaan lahan di awal, pupuk dan pome dari limbar cair, serta transportasi pengangkut tandan buah segar (TBS).

Deputi Direktur Transformasi Pasar RSPO Indonesia,Mahatma Windrawan Inantha, mengatakan sumber penghasil emisi terbesar sektor sawit yaitu pome. Pasalnya, limbah cair tersebut emisinya bukan menghasilkan karbon dioksida (CO2) melainkan amonia (NH3). 

“Jadi pome atau limbah cair dari sawit, itu dia emisinya bukan CO2 lagi tapi amonia, yang bahanya lebih parah lagi karena 20 kali lebih beracun dari karbon dioksida. Tapi kami punya standar dan melakukan upaya untuk menurunkan emisi itu,” ujarnya dalam acara konferesi pers RSPO 2023, di Jakarta, Selasa (21/11). 

Windrawan mengatakan, salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi akibat sawit yaitu dengan menerapkan teknologi Methan Capture. Teknologi tersebut dapat menangkap gas metana yang kemudian ditangkap dan dimanfaatkan sebagai sumber listrik untuk pengolahan TBS. 

“Dengan begitu emisi dari sektor sawit bisa berkurang secara perlahan, karena kami juga ingin mendorong pemerintah dalam upaya mencapai nol emisi bersih,” kata dia. 

Namun demikian, limbah cair tersebut dapat bermanfaat jika diolah dengan benar. Salah satunya dengan menjadikannya bahan baku biodiesel untuk truk yang mengangkat buah sawit.

“Sehingga mereka tidak menggunakan solar lagi sebagai bahan bakar truk mereka, “ kata dia.

Mengutip dari Databooks, data Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PPI-KLHK) mengatakan emisi gas rumah kaca di Indonesia 94% didominasi oleh gas CO2. 

Sebagian besar karbon disimpan di tanah dan pengelolaan hutan turut berkontribusi. Faktanya, lebih dari 80% riwayat penggundulan hutan akibat pembukaan lahan sawit yang terjadi terus menerus memberikan dampak yang signifikan terhadap iklim global. Sehingga, Indonesia dituding sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.

Sektor kehutanan sebagai korban dari deforestasi dan degradasi menyumbang emisi karbon dioksida sebesar 26,8 Mt dari 2013-2018 akibat hilangnya tutupan pohon di Indonesia.

Sedangkan 1,04 Gt lainnya paling banyak disebabkan oleh sektor perkebunan. Dalam hal ini, sawit dan aktivitas dalam konsesi HPH-HTI menjadi penyebab langsung deforestasi.

Sektor Kehutanan Sumbang Emisi GRK Terbanyak

Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca sebanyak 1.866.552 gigagram karbon dioksida ekuivalen (Gg CO2e) pada tahun 2019. Data ini tercatat dalam Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) yang diliris dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021.

Pada 2019, emisi gas rumah kaca nasional paling banyak berasal dari sektor pemanfaatan hutan dan lahan lainnya (forestry and other land use/FOLU) serta kebakaran gambut, yakni 924.853 Gg CO2e.

Emisi terbesar berikutnya berasal dari sektor energi yakni sebanyak 638.808 Gg CO2e. Ada pula emisi dari limbah, pertanian, serta proses industri dan konsumsi produk (industrial process and product use/IPPU).

Secara kumulatif, emisi gas rumah kaca nasional pada tahun 2019 sudah jauh meningkat dibanding tahun 2010, yang ketika itu jumlahnya hanya 809.982 Gg CO2e.

Melihat kondisi ini, Indonesia tampaknya masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC), yakni komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan melalui Perjanjian Paris.

Mengacu pada NDC tersebut, Indonesia ditargetkan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% di bawah skenario business as usual pada 2030 dengan usaha sendiri, atau mengurangi emisi sampai 41% apabila mendapat dukungan internasional.

Reporter: Nadya Zahira