ICAO Sepakati Target Emisi Penerbangan 5% Lebih Rendah pada 2030

Pertamina
Penerbangan menyumbang sekitar 2-3% dari emisi karbon global. Sustainable Aviation Fuel (SAF) menjadi kunci untuk mengurangi emisi tersebut.
Penulis: Hari Widowati
27/11/2023, 07.35 WIB

Pertemuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang dihadiri lebih dari 100 negara menyetujui emisi karbon 5% lebih rendah melalui penggunaan energi yang lebih bersih, seperti bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF) pada tahun 2030. Namun, Cina, Rusia dan beberapa negara lainnya khawatir kesepakatan ini akan berdampak negatif terhadap perekonomian mereka.

Rancangan sebelumnya memiliki target 5-8%. Amerika Serikat mengatakan bahwa sesi penutupan pertemuan yang diadakan menjelang pertemuan iklim COP28 pekan ini mengirimkan "sinyal yang jelas dan positif" kepada komunitas keuangan. Sektor keuangan didorong untuk berinvestasi dalam proyek-proyek energi bersih yang baru.

Penerbangan menyumbang sekitar 2-3% dari emisi karbon global. SAF adalah kunci untuk mengurangi emisi tersebut, tetapi biayanya mahal dan pasokannya kurang dari 1% dari total bahan bakar jet global.

Mauricio Ramirez Koppel, perwakilan ICAO dari Kolombia yang ingin memproduksi SAF dari bahan-bahan seperti minyak kelapa sawit, mengatakan bahwa target 5% tersebut akan memulai dan mempercepat proyek-proyek SAF dengan memberikan tujuan yang jelas kepada para investor.

"Sekarang tergantung pada komunitas keuangan dan sektor energi untuk mendukung infrastruktur yang diperlukan dan mulai memproduksi SAF dalam jumlah yang terus meningkat," ujar Haldane Dodd, Direktur Eksekutif Air Transport Action Group, yang antara lain mewakili para produsen badan pesawat dan mesin, seperti dikutip Reuters, pada Sabtu (25/11).

Penerbangan tidak secara langsung tercakup dalam Perjanjian Paris untuk memerangi perubahan iklim. Akan tetapi, sektor transportasi udara sebelumnya telah berjanji untuk menyelaraskan diri dengan tujuan global dengan menetapkan target "aspiratif" untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050.

Dengan menyatukan negara-negara yang terlibat dalam COP28, para analis mengatakan bahwa pembicaraan penerbangan minggu ini memberikan gambaran awal mengenai ruang lingkup kerja sama lebih lanjut.

Kesepakatan ini terjadi setelah perdebatan mengenai transfer teknologi yang diinginkan oleh negara-negara Afrika dan negara berkembang lainnya untuk memungkinkan mereka meningkatkan kapasitas produksi SAF.

Beberapa negara menyatakan keberatan mereka. Cina, yang telah setuju untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060, mengatakan bahwa target tersebut akan menaikkan biaya operasional maskapai penerbangan secara signifikan. Selain itu, kebijakan tersebut akan mendiskriminasikan negara-negara berkembang karena mengancam ketahanan energi dan pangan.

Arab Saudi dan Irak, dua produsen minyak utama Timur Tengah dan anggota OPEC, keberatan dengan target dan tahun yang ditetapkan tersebut.

Para pemerhati lingkungan mengatakan bahwa kesepakatan tersebut tidak memiliki kekuatan karena tidak mengikat dan akan memungkinkan maskapai-maskapai penerbangan untuk menggunakan bahan bakar fosil yang lebih rendah karbon.

"ICAO tidak memiliki mandat untuk menegakkan target ini sehingga kemungkinan besar akan berakhir dengan sia-sia," kata Jo Dardenne, Direktur Penerbangan di grup Transport & Environment yang berbasis di Brussels. Menurutnya, kesepakatan itu tidak menyebutkan secara jelas berapa banyak dan jenis bahan bakar apa yang perlu diproduksi untuk mencapai target emisi karbon 5% secara global.

Industri penerbangan memperkirakan perlu dana US$1,45 triliun hingga US$3,2 triliun untuk pengembangan modal SAF guna mencapai target nol emisi bersih di sektor ini. Pertemuan ini bertujuan untuk membuat akses pembiayaan lebih mudah tersedia bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan hasil SAF di luar wilayah seperti AS dan Eropa.

Francis Mwangi, pejabat perencanaan senior di Otoritas Penerbangan Sipil Kenya, mengatakan negaranya membutuhkan pembiayaan untuk mempelajari manfaat ekonomi dari produksi SAF dalam negeri dan untuk menggunakan kilang tua di Mombasa untuk memproduksi bahan bakar tersebut. "Kami siap untuk bergerak dan memproduksi SAF di Kenya," kata Mwangi kepada Reuters menjelang konferensi.