Sejumlah negara menyatakan komitmen untuk menggelontorkan dana loss and damage demi menanggulangi efek akibat perubahan iklim di negara-negara yang rentan terdampak pada hari pertama rangkaian agenda Conference of the Parties (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Jumat (1/12).
Dana yang digelontorkan oleh negara maju tersebut merupakan jawaban atas kekhawatiran beberapa negara berkembang akan kebutuhan biaya yang besar dalam menghadapi dampak buruk perubahan iklim. Hal itu sebelumnya telah disuarakan pada perhelatan COP-27 tahun lalu di Mesir.
Negara-negara dengan kontribusi emisi gas rumah kaca (GRK) yang relatif lebih rendah justru dianggap lebih rentan dalam menghadapi bencana kekeringan, kenaikan permukaan air laut, kejadian cuaca ekstrem, dan risiko fisik lainnya.
Daftar negara-negara maju yang menggelontorkan dana untuk menanggulangi perubahan iklim di antaranya:
1.Uni Emirat Arab (UAE)
Sebagai tuan rumah dalam gelaran COP28, UAE telah berkomitmen untuk menyediakan dana sebesar US$ 100 juta atau setara dengan Rp 1,5 triliun untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi energi guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2023.
2. Jerman
Sama dengan UEA, Jerman juga termasuk negara maju yang akan menggelontorkan dananya untuk mengatasi perubahan iklim yakni sebesar US$ 100 juta atau setara dengan Rp 1,5 triliun.
3.Inggris
Inggris menyatakan komitmennya untuk memberikan dana sebesar £60 juta atau Rp 1,1 triliun
4. Amerika Serikat
Amerika Serikat juga ikut menggelontorkan dananya untuk menanggulangi perubahan iklim hingga transisi energi sebesar US$ 17,5 juta atau setara dengan Rp 270,6 miliar
5. Jepang
Jepang menggelontorkan dana US$ 10 juta atau setara dengan Rp 154,6 miliar.
Dana Kompensasi Kerusakan Iklim Kurang Ambisius
Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting menilai nominal dana yang dijanjikan oleh AS dan Jepang, masih jauh dari kata ambisius. Pasalnya, dana tersebut hanya kurang dari seperlima dana yang dijanjikan oleh UEA.
“Padahal, AS dan Jepang merupakan negara industri pertama dengan jejak emisi historis yang tinggi. Peran Bank Dunia sebagai penyimpan dan penyalur dana juga patut dikritisi karena memiliki kedekatan khusus dengan AS,” tutur Pius yang turut hadir dalam COP-28 di Dubai, dikutip melalui keterangan resmi, Senin (4/12).
Gabungan dana tersebut akan dikumpulkan oleh Bank Dunia dan direncanakan untuk mulai dikucurkan pada 2024. Dalam hal ini, perwakilan negara-negara berkembang akan dilibatkan dalam proses alokasi dana.
Sementara itu, secara keseluruhan jumlah dana yang dikumpulkan juga perlu selalu diawasi secara berkala. Menurut laporan yang dirilis oleh The Loss and Damage Collaboration untuk COP-28, dana loss and damage yang dibutuhkan untuk menanggulangi dampak buruk bencana hidrometeorologi di negara-negara berkembang mencapai US$ 400 miliar atau Rp 6,1 kuadriliun per tahun.
Studi lainnya oleh Independent High-Level Expert Group on Climate Finance menyebutkan bahwa hingga 2030, dibutuhkan dana antara US$ 150–300 miliar untuk menghadapi dampak langsung dan rekonstruksi yang dibutuhkan.
Meski demikian, Pius menyambut baik rencana alokasi dana loss and damage ini sebagai bentuk tanggung jawab negara-negara maju terhadap dampak buruk perubahan iklim.
Menurut dia, penting untuk meningkatkan mitigasi atau pengurangan GRK, agar loss and damage tidak membesar.
“Langkah ini semakin penting mengingat efek perubahan iklim akan semakin mengancam kehidupan bila kenaikan temperatur global melebih 1,5° C dari era pra-industri,” kata dia.